
Oleh: Malika Dwi Ana
Pagi ini (29 September 2025, 07:58 PM WIB), politik Indonesia kembali jadi teater absurd dengan kunjungan Abu Bakar Ba'asyir ke mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Solo. Di balik sungkeman dan salam "Wa'alaikumsalam" yang viral, ada indikasi kuat skenario culas Jokowi untuk menggoyang posisi Presiden Prabowo Subianto. Dengan memanfaatkan sentimen agama, kunjungan Ba'asyir, dan hoax billboard "Abraham Shield" yang disebarkan Felix Siauw, Jokowi tampak membangun narasi ganda: menguatkan citranya sebagai "pemimpin Islam" sekaligus melemahkan Prabowo sebagai "pengkhianat umat". Berikut analisis mendalam skenario tersebut.
Skenario Pertama: Pelukan Ba'asyir sebagai Kontra-Narasi terhadap "Shalom-Gate" Prabowo
Kunjungan Ba'asyir, pendiri Al-Mukmin Ngruki yang pernah dicap teroris PBB, ke Jokowi bukan sekadar silaturahmi. Ba'asyir menyebut datang untuk "menasihati" Jokowi terapkan syariah, dan Jokowi mengiyakan dengan nada patuh, "Beliau menasehati saya untuk mengabdi pada Islam." Video sungkem ini viral di X, dapat ribuan like dari akun garis keras yang dulu hujat Jokowi "kafir". Timing-nya strategis: pasca-pidato Prabowo di PBB (23 September 2025) yang kutuk "genosida Gaza" tapi tutup dengan "Shalom" dan dukung two-state solution, memicu kemarahan kelompok Islam konservatif.
Jokowi memanfaatkan momen ini untuk kontra-narasi. Dengan pelukan Ba'asyir—simbol garis keras yang dulu dia bebaskan 2021—Jokowi posisikan diri sebagai pemimpin yang "bela Islam" kontras dengan Prabowo yang dianggap "kompromi kafir". Ba'asyir bahkan klaim kirim surat nasihat ke Prabowo via Jokowi, seolah Jokowi jadi "penjaga syariat" yang mengawasi presiden baru. Ini psywar halus: Jokowi cuci citra pasca-lengser, sekaligus sindir Prabowo yang "lupa" basis konservatifnya saat pilpres 2024.
Ingat era Jokowi: rezimnya jagonya demonisasi "fundamentalisme kanan". FPI dibubarkan, HTI dilenyapkan, buzzer pro-Jokowi sibuk dengan cap "radikal-intoleran, anti Pancasila, anti kebhinekaan, bahkan kadrun(kadal gurun)" buat oposisi atau siapa saja yang tak sejalan. NU jadi garda depan, dapet jatah jabatan dan tambang sebagai "imbalan setia". Dan polarisasi anak bangsa sukses besar! Tapi sekarang, pas pensiun, Jokowi tiba-tiba peluk Ba'asyir, simbol segala yang dulu dia "lawan". Ini bukan rekonsiliasi tulus; ini manuver culas ala glembuk Solo.
Skenario Kedua: Manfaatkan Hoax Siauw untuk Kristalisasi Antipati
Hoax billboard "Abraham Shield" yang menampilkan Prabowo berdampingan Trump-Netanyahu, disebarkan Felix Siauw (@felixsiauw) pada 27-28 September 2025, jadi alat amplifikasi skenario ini. Meski terbukti editan kasar (analisis Roy Panci Suro, Jawa Pos, 29 September 2025), unggahan Siauw dengan caption provokatif—"Prabowo di billboard Zionis, sinyal pengkhianatan umat"—meledak: 50.000+ like, 10.000 repost. Siauw, eks-HTI yang dulu kritik Jokowi, kini pivot(mengubah strategi) serang Prabowo, sebut two-state "resep damai palsu!".
Di balik layar, ini bisa jadi bagian strategi Jokowi. Siauw, dengan 3,3 juta followers, bisa jadi proxy efektif—pengaruhnya di kalangan garis keras memungkinkan kristalisasi narasi "Prabowo pro-Zionis". Jokowi tak perlu turun tangan langsung; ia cukup biarkan narasi ini tumbuh dan berkembang, didorong jaringan eks-HTI dan FPI. Hasilnya? Hashtag #PrabowoProZionis trending, picu spekulasi di grup WA santri Jateng bahwa Prabowo "jual Palestina buat DK PBB". Ini melemahkan Prabowo di mata basis Islam konservatif yang dulu mendukungnya.
Skenario Ketiga: Provokasi Demo dan Teror untuk Legitimasi Jokowi
Ini kekhawatiran bahwa skenario ini akan tereskalasi menjadi aksi nyata. Dukungan two-state Prabowo, diglorifikasi lewat hoax Siauw, bisa picu demo besar seperti 212, dengan isu "ketidakpercayaan umat Islam". Lebih ngeri lagi, ada potensi aksi terorisme—entah bom asli atau false flag operation pakai nama Islam garis keras. Jika ini terjadi, Jokowi akan siap manfaatkan: "Sepanjang 10 tahun saya, tak ada statement pro-two-state, tak ada teror." Ini legitimasi politiknya—kontras dengan kekacauan di era Prabowo.
Jokowi bisa main di dua kubu: pelukan Ba'asyir jaga basis garis keras untuk Gibran/PDIP jelang pilkada 2025 atau amunisi 2029, sekaligus distraksi dari isu ijazah palsu. Sementara Prabowo yang apes kena sialnya: dianggap pengkhianat agama (sebagaimana narasi Siauw) dan di kelompok nasionalis (dianggap melanggar UUD 1945 dengan akui kolonialisme Israel). Jokowi, di balik layar, jadi pemenang—popularitasnya terdongkrak, relevansi politiknya naik, dan Prabowo akan semakin terpojok.
Dalam politik, apa yang terlihat di permukaan bukanlah peristiwa sebenarnya. Politik praktis itu bukan yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Apa yang terjadi di panggung pertunjukan, belum tentu yang sesungguhnya terjadi. Pertunjukan sesungguhnya justru terjadi di balik layar. Di sini, Jokowi tampil sebagai sutradara narasi lewat Ba'asyir dan Siauw, sementara Prabowo menjadi target tanpa sadar. Pelukan Ba'asyir dan hoax Zionis hanyalah tirai—realitasnya, Jokowi main catur politik untuk kembali relevan atau dukung Gibran, dengan chaos dan terorisme sebagai alat legitimasi.
Skenario Jokowi ini cerdas namun culas. Pelukan Ba'asyir kontra "Shalom-Gate", hoax Siauw mengamplifikasi antipati, dan potensi chaos melegitimasi posisinya. Politik Indonesia: sinetron di mana Jokowi main lempar batu sembunyi tangan, sambil Prabowo diumpankan sebagai sasaran tembaknya. Ngeri membayangkan eskalasinya—tapi verifikasi fakta jadi senjata kita. Wallahu a'lam(MDA)
Teras Malawu, 29 September 2025, 08:15 PM WIB
LEAVE A REPLY