
Keterangan Gambar : Dikenal sebagai "Surga Tersembunyi" di dunia, Indonesia menawarkan kekayaan alam, budaya, dan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi (sumber foto : ist/dok pribadi/pp)
Oleh : Vivin Alwan
Ketua Umum Wanita Indonesia Pemerhati Pariwisata
INDONESIA - Dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, merupakan sebuah anugerah. Dikenal sebagai "Surga Tersembunyi" di dunia, Indonesia menawarkan kekayaan alam, budaya, dan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi. Dari terumbu karang Raja Ampat yang memukau hingga kemegahan candi Borobudur yang bersejarah, potensi pariwisata Indonesia adalah raksasa yang baru terbangun. Namun, di balik narasi promosi yang gencar, tersembunyi sebuah tantangan besar: menjaga keseimbangan antara ambisi pembangunan pariwisata dan kewajiban pelestarian lingkungan serta budaya.
Ancaman di Balik Promosi
Sejauh ini pemerintah Indonesia telah berupaya keras mempromosikan pariwisata melalui program-program seperti "10 Bali Baru" serta kampanye digital yang massif hingga hari ini. Tujuannya jelas untuk mendongkrak devisa negara dan menciptakan lapangan kerja. Promosi ini berhasil membawa gelombang wisatawan, baik domestik maupun mancanegara berbodong-bondong untuk berwisata di tempat tersebut.
Namun, peningkatan jumlah pengunjung yang drastis, terutama di destinasi yang belum memiliki infrastruktur memadai, telah menimbulkan dampak negatif yang signifikan. "Overtourism" atau pariwisata berlebihan menjadi momok yang mengancam. Sampah yang menumpuk, kerusakan terumbu karang akibat aktivitas snorkeling dan diving yang tidak terkontrol, serta alih fungsi lahan hijau menjadi fasilitas akomodasi adalah realitas yang tak terhindarkan. Lebih dari sekadar alam, kelestarian budaya lokal juga terancam. Ketika sebuah desa adat atau ritual sakral dikomodifikasi secara berlebihan demi kepentingan turis, esensi dan maknanya perlahan terkikis, berubah menjadi sekadar tontonan artifisial.
Langkah strategis Pariwisata Berkelanjutan
Untuk memastikan bahwa "Surga Tersembunyi" ini tidak berubah menjadi "Surga yang Hilang," Indonesia harus bergerak menuju model Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism) sebagai satu-satunya jalan ke depan. Ini bukan sekadar slogan, melainkan sebuah filosofi yang harus diimplementasikan secara menyeluruh:
Pertama yang harus dipastikan ialah regulasi ketat dan penegakan hukum. Pemerintah daerah dan pusat harus memberlakukan batasan ketat terhadap jumlah kunjungan (carrying capacity) di lokasi sensitif, seperti taman nasional laut dan situs warisan dunia. Penegakan hukum yang tegas terhadap perusak lingkungan, baik itu operator tur maupun individu, sangat diperlukan.
Kedua adalah pemberdayaan masyarakat local. Kelestarian akan terjamin jika masyarakat lokal menjadi garda terdepan dan mendapatkan manfaat ekonomi terbesar. Model ekowisata berbasis komunitas harus diprioritaskan, di mana mereka tidak hanya menjadi pekerja, tetapi juga pemilik dan pengambil keputusan atas destinasi mereka sendiri.
Ketiga melakukan edukasi dan kesadaran wisatawan dengan cara kampanye promosi harus diiringi dengan edukasi yang kuat mengenai etika berwisata. Wisatawan harus didorong untuk menjadi "Responsible Traveler"menghormati budaya lokal, membuang sampah pada tempatnya, dan memilih operator tur yang bersertifikasi hijau.
Bukan Hanya Kunjungan
Promosi pariwisata Indonesia ke depan tidak seharusnya hanya berfokus pada keindahan visual semata, tetapi pada narasi kelestarian serta keunikan budaya yang terjaga. Harus diketahui bahwa dunia saat ini semakin menghargai destinasi yang otentik dan bertanggung jawab secara lingkungan karena itu, Indonesia memiliki peluang emas untuk memimpin di kancah global sebagai model pariwisata yang sukses tanpa harus mengorbankan masa depannya. Dengan mengintegrasikan promosi yang efektif dengan prinsip-prinsip konservasi yang teguh, "Surga Tersembunyi" ini akan tetap menjadi sumber daya yang berharga tidak hanya bagi generasi kita, tetapi juga bagi generasi Indonesia yang akan datang. Promosi harus menjadi alat untuk membagi keindahan, bukan alat untuk menghabisinya.
Lebih jauh kita harus memastikan pariwisata harus menerapkan model pariwisata berkelanjutan seperti Raja Ampat Papua Barat Daya, Desa Wisata Panglipuran Bali, Taman Nasional Komodo (Pulau Rinca dan Pandar) Nusa Tenggara Timur.
Raja Ampat dengan konservasi berbasis komunitas dan pariwisata berbiaya tinggi dengan dampak rendah (High-Value, Low-Impact Tourism). Yakni konservasi Laut dengan kawasan yang dikelola sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Kedmudian Biaya masuk (Pin Entry) yang dikenakan kepada wisatawan asing dialokasikan langsung untuk operasional konservasi dan pemberdayaan masyarakat local. Pemberdayaan local dengan akomodasi didominasi oleh homestay milik warga lokal yang tergabung dalam asosiasi.
Model ini memastikan manfaat ekonomi langsung dirasakan oleh masyarakat, sehingga mereka memiliki insentif kuat untuk menjaga keanekaragaman hayati laut yang menjadi daya tarik utama serta pembatasan aktivitas terdapat zona-zona yang dilindungi secara ketat dan aturan ketat untuk aktivitas penyelaman atau snorkeling guna menjaga kesehatan terumbu karang.
Bali dengan konservasi budaya dan arsitektur tradisional menjadi inti dari daya tarik pariwisata dengan model keberlanjutan seperti
- Pelestarian Tata Ruang: Desa ini secara konsisten mempertahankan tata ruang tradisionalnya (berdasarkan konsep Tri Hita Karana), menolak pembangunan modern yang mengganggu estetik Semua rumah memiliki arsitektur seragam.
- Nir-Sampah: Desa ini dikenal sangat bersih, dengan sistem pengelolaan sampah yang dilakukan secara kolektif oleh warga, menjadikannya salah satu desa terbersih di dunia.
- Aturan Adat: Aturan adat yang kuat dipegang teguh, termasuk larangan penggunaan kendaraan bermotor di area utama desa, menjamin ketenangan dan keaslian suasana.
Taman Nasional Komodo (Pulau Rinca dan Padar), Nusa Tenggara Timur dengan model keberlanjutan
- Pembatasan dan Pemandu. Setiap kunjungan ke habitat Komodo diwajibkan didampingi oleh Ranger “Pemandu Konservasi” untuk memastikan keselamatan wisatawan dan, yang lebih penting, meminimalkan gangguan terhadap perilaku alami satw
- Sistem Zonasi. Kawasan ini menerapkan sistem zonasi yang ketat. Kapal-kapal wisata hanya diperbolehkan berlabuh di titik-titik yang ditentukan, dan akses ke area sensitif dibatasi untuk meminimalkan dampak ekologis.
- Penelitian dan Monitoring. Penerapan biaya masuk yang relatif tinggi juga berfungsi untuk mendanai riset dan program pemantauan satwa liar secara intensif.
Berdasarkan penjelasan di atas kata kuncinya adalah Dilema Promosi vs. Daya Dukung: Promosi yang masif berisiko menimbulkan overtourism dan kerusakan lingkungan (sampah, kerusakan terumbu karang, alih fungsi lahan), serta pengikisan nilai budaya lokal. Pariwisata Berkelanjutan sebagai solusi satu-satunya jalan keluar mengadopsi model pariwisata berkelanjutan yang menyeimbangkan tiga pilar uakni ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya.
Karena itu Indonesia tidak hanya berhenti mempromosikan keindahannya, tetapi harus bergeser untuk mempromosikan komitmennya terhadap kelestarian. Dengan regulasi yang ketat, pemberdayaan masyarakat lokal, dan kesadaran dari wisatawan, "Surga Tersembunyi" ini dapat terus memberikan manfaat ekonomi yang besar sambil tetap terjaga keasliannya untuk dinikmati oleh generasi mendatang. (*)







LEAVE A REPLY