Keterangan Gambar : Ilustrasi (sumber foto : ist/rri/pp)
Oleh: Alin Aldini, S.S.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Job hugging atau memeluk erat pekerjaan merupakan fenomena baru muncul di dunia kerja. Kalau dulu banyak orang sering pindah-pindah kerja atau job hopping, kini justru banyak pekerja memilih 'memeluk' pekerjaannya yang ada saat ini. Fenomena ini makin marak di tengah situasi pasar kerja yang penuh ketidakpastian. Para pekerja merasa lebih aman bertahan di tempat lama daripada harus ambil risiko pindah kerja (detik.com, 20/09/2025).
Data di Amerika Serikat (AS) mendukung tren ini. Tingkat pengunduran diri sukarela di AS sejak awal 2025 hanya 2%, level terendah dalam hampir satu dekade. Artinya, karyawan makin enggan melepaskan pekerjaan yang sudah digenggam (cnbcindonesia.com, 19/09/2025).
Job hugging sejatinya hanyalah respons dari sistem ekonomi yang bersandar pada kapitalisme, yakni lapangan pekerjaan bukan disediakan oleh negara tapi ditawarkan oleh pasar. Semakin banyaknya permintaan maka semakin banyak juga penawaran, begitu sebaliknya semakin sedikit permintaan maka ekonomi semakin lesu bahkan terancam ‘gulung tikar’.
Satu sisi, penyedia lapangan pekerjaan dan pencari kerja mengalami kebingungan dengan krisis dan resesi ekonomi. Di sisi lain, negara berselingkuh dengan swasta untuk bagi-bagi kekuasaan sumber daya alam (SDA) dengan membuat aturan yang seharusnya dikelola negara lalu dibagi secara merata demi kesejahteraan masyarakat secara umum, justru malah memihak swasta (asing/aseng) atas nama investasi demi kepentingan dan keuntungan pribadi/kelompok/perorangan saja.
Banyaknya lahan kerja yang beralih pada digitalisasi sehingga ekonomi cenderung pada sektor nonriil membuat masyarakat yang tak mampu membeli gadget atau minim edukasi akan tertinggal, membuat yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Manusia tergantikan dengan teknologi AI yang memperparah keadaan, sehingga lapangan pekerjaan semakin minim. Ditambah ekonomi kapitalisme-sekuler yang tidak bisa lepas dari sistem ribawi menzalimi pengais rupiah dengan berbagai macam pajak.
Pendidikan dalam sistem kapitalisme pun tak ubahnya seperti mesin pencetak kertas (ijazah) berjalan saja, meskipun kurikulum pendidikan disiapkan untuk adaptif dengan dunia kerja, tetapi prinsip liberalisasi perdagangan (termasuk perdagangan jasa) menjadikan negara lepas tangan dalam memastikan warganya bisa bekerja bahkan mendorong mereka untuk berbisnis/usaha mikro, kecil, dan menengah dengan harapan mampu membuka lapangan pekerjaan baru, tanpa melihat tanggung jawab besar untuk memenuhi kebutuhan dasar/pokok mereka adalah kewajiban negara. Banyaknya sekolah vokasi pun, tak mampu menjawab minimnya lapangan pekerjaan, sementara lulusan yang banyak tak lagi dapat terserap pasar kerja yang sempit.
Negara seharusnya menjadi penanggung jawab utama mengurus rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja. Memang seperti itu tugas dan tanggung jawab negara. Hal tersebut tentunya dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 153 berisi kewajiban negara untuk menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi setiap warganya, yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam untuk menjaga kesejahteraan masyarakat dan mencegah kemiskinan.
Pasal ini juga menekankan pentingnya negara dalam mengatur ekonomi agar tercipta keadilan dan memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meninggalkan Islam jelas adalah kesalahan besar, karena Islam bukan hanya sekadar agama ritual belaka yang memeras rakyat dengan upeti. Islam memiliki sistem ekonomi dan pendidikan yang utuh, tidak terpisah atau terkotak hanya dalam ibadah tapi syariah menekankan ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan selalu dibingkai dengan ruh (kesadaran hubungan manusia dengan penciptanya) dan keimanan, sehingga rakyat melakukannya dengan ketakwaan pada Allah SWT, terikat dengan standar halal-haram. Negara melayani urusan rakyatnya juga dengan dorongan ketakwaan, hingga tidak akan terjadi lagi perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha swasta (asing/aseng).[]
LEAVE A REPLY