
Keterangan Gambar : Dugaan Pelanggaran Asas Ne Ultra Petita Partium oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok Perkara Nomor: 270/Pid.Sus/2025/PN.Dpk, Atas Nama Para Terdakwa: Fernando Hendrik Polii dkk. (sumber foto : ist/pp)
DEPOK II Parahyangan Post - Ruang Sidang 1 Pengadilan Negeri Depok, Rabu (05/11/2025) sore, mendadak gempar, tidak lama setelah majelis hakim menutup sidang pembacaan putusan Perkara No. 270/Pid.Sus/2025/PN.Depok yang mengadili perkara kepemilikan senjata tajam.
Para terdakwa spontan meluapkan kekecewaan mereka ihwal putusan majelis hakim yang memutus 1 tahun 8 bulan dimana lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum 1 tahun 6 bulan.
Dalam video amatir yang diterima tim Parahyangan Post di-lapangan, terdengar Para Terdakwa dengan ekspresi kesal dan marah menegaskan bahwa mereka adalah korban penyerangan fisik yang dilakukan oleh kelompok yang disebut masih berkaitan dengan oknum aparat, namun secara tidak adil malah dijadikan tersangka oleh pihak Polrestro Kota Depok dan kemudian menjadi terdakwa dan terpidana dalam kasus penguasaan senjata tajam.
Keputusan majelis hakim PN Depok yang memeriksa Perkara No. 270/Pid.Sus/2025/PN Depok dinilai tidak adil dan mengesampingkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan.
Dalam situasi ricuh tersebut, beruntung keluarga terdakwa yang hadir dalam persidangan dan para penasehat hukum dari LKBH STIH-PGL Sultoni, SH, Gresby Mello, SH, Irwansyah Sidabalok, SH serta Wellem Tuwaidan, SH segera berinisiatif melerai dan menenangkan para terdakwa.
Dugaan Pelanggaran Asas Ne Ultra Petita Partium oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok Perkara Nomor: 270/Pid.Sus/2025/PN.Dpk, Atas Nama Para Terdakwa: Fernando Hendrik Polii dkk.
Sebagaimana diketahui bahwa Pasca putusan Pengadilan Negeri Depok dalam perkara pidana dengan Nomor 270/Pid.Sus/2025/PN.Dpk, atas nama para terdakwa Fernando Hendrik Polii dan kawan-kawan, telah menjadi perhatian publik. Menurut Kuasa Hukum para terdakwa dari LKBH STIH Prof. Gayus Lumbuun yang diketuai oleh Dr. Rd. Yudi Anton Rikmadani, S.H., M.H., mengatakan terdapat dugaan kuat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok telah memutus perkara melebihi batas kewenangan atau melanggar asas Ne Ultra Petita Partium.
Asas Ne Ultra Petita Partium merupakan prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh memutus melebihi atau di luar dari apa yang didakwakan atau dituntut oleh Penuntut Umum. Dalam konteks hukum pidana, asas ini bermakna bahwa hakim hanya berwenang memutus berdasarkan surat dakwaan dan tuntutan.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Putri Dwi Astrini, S.H., M.H., dalam persidangan menuntut para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan. Namun, dalam amar putusan Majelis hakim dalam perkara tersebut memutus para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan.
Menurut Yudi, Majelis Hakim diduga telah menjatuhkan putusan yang melampaui dakwaan dan tuntutan dari Penuntut Umum. Tindakan ini berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang mengatur bahwa “Majelis Hakim bermusyawarah untuk memutus perkara berdasarkan surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.”
Lebih lanjut, pelanggaran terhadap asas Ne Ultra Petita Partium dalam perkara pidana juga berdampak serius terhadap hak konstitusional para terdakwa, karena putusan yang melampaui dakwaan dan tuntutan penuntut umum, berarti melanggar asas legalitas (nullum crimen sine lege) dan prinsip due process of law sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengutif Ahli hukum pidana Prof. Andi Hamzah menegaskan bahwa hakim yang menjatuhkan putusan melebihi dakwaan dan tuntutan penuntut umum telah melanggar asas Ne Ultra Petita Partium dan karenanya putusan tersebut dapat dinyatakan cacat hukum (error in procedendo). Hal senada juga dikutif dari Dr. Lilik Mulyadi, bahwa setiap putusan yang melampaui dakwaan mengandung ketidakadilan karena terdakwa dihukum atas perbuatan yang tidak pernah dituduhkan secara sah oleh Penuntut Umum.
Dengan demikian, menurut yudi, tindakan hakim dalam perkara No. 270/Pid.Sus/2025/PN.Dpk patut diduga telah:
- Melampaui kewenangan yudisial yang diatur oleh hukum acara pidana;
- Menimbulkan ketidakpastian hukum dan pelanggaran terhadap hak konstitusional para terdakwa;
- Bertentangan dengan asas keadilan dan profesionalitas hakim sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), khususnya prinsip Integritas, Keadilan, dan Profesionalitas.
Kuasa Hukum para terdakwa dari LKBH STIH Prof. Gayus Lumbuun, akan melakukan pengaduan kepada Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) setelah salinan putusan diterima terhadap Majelis Hakim dalam perkara No. 270/Pid.Sus/2025/PN.Dpk.
Dengan harapan Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), nantinya dapat segera melakukan penelusuran dan pemeriksaan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang memutus perkara tersebut. Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk menjaga marwah lembaga peradilan, kepercayaan publik, serta menegakkan prinsip independensi dan akuntabilitas hakim.
Kasus ini menjadi momentum penting bagi dunia peradilan Indonesia untuk menegaskan kembali bahwa hakim adalah pelayan keadilan yang harus memutus berdasarkan hukum, bukan berdasarkan penafsiran subjektif di luar batas kewenangannya.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Nilai keadilan yang sejati tidak dapat tercapai apabila hakim bertindak melampaui tuntutan jaksa penuntut umum dan ketentuan hukum, serta prinsip peradilan yang sah. - (rd/jk/pp)







LEAVE A REPLY