Home Opini Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

69
0
SHARE
Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Oleh: Agus Rizal
Ekonom Univ MH Thamrin

NEOLIBERALISME - Itu seperti kucing sembilan nyawa. Sudah berkali-kali diumumkan mati, tetapi selalu muncul lagi dengan wajah baru. Setiap kali dunia terjebak krisis finansial, politik, atau sosial—ide pasar bebas ini justru menemukan cara untuk bangkit.

Tentu bukan karena teorinya hebat, tetapi karena ia fleksibel, lihai membaca momentum, dan punya jaringan pendukung yang sangat kuat. Inilah sebabnya neoliberalisme terus bertahan meski kritik datang dari segala arah.

Sejak awal, neoliberalisme dibangun bukan cuma sebagai paket kebijakan pro-pasar. Ia dibangun sebagai cara berpikir tentang bagaimana pengetahuan bekerja. Para tokohnya berargumen bahwa dunia terlalu rumit untuk diatur oleh negara.

Pemerintah, menurut mereka, tak mungkin mengumpulkan seluruh informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan ekonomi. Maka pasar dijadikan “penentu terbaik”, dan narasi ini digunakan sebagai alasan untuk melemahkan peran negara dalam mengatur ekonomi.

Tetapi jangan salah paham. Neoliberalisme tidak ingin negara menghilang. Ia justru butuh negara yang kuat, namun dengan fungsi yang dipersempit. Tugas negara diarahkan pada hal-hal teknis seperti menjaga hak milik, menegakkan kontrak, dan memastikan kompetisi berjalan.

Soal kesejahteraan, proteksi sosial, atau pemerataan? Itu dianggap bukan urusan negara. Karena itu, setiap krisis besar—termasuk 2008—negara dikerahkan untuk menyelamatkan pasar, bukan membenahi ketimpangan yang ditimbulkan pasar itu sendiri.

Di sisi lain, neoliberalisme ikut mengubah cara kita melihat diri sendiri. Manusia didorong melihat hidupnya seperti “bisnis pribadi”. Hidup harus efisien, produktif, dan kompetitif.

Kalau gagal, dianggap salah individu, bukan sistem. Berbagai teori insentif, manajemen risiko, hingga ekonomi perilaku dipakai untuk membentuk perilaku masyarakat tanpa harus melakukan paksaan terang-terangan. Tanggung jawab sosial dipindahkan ke pundak keluarga, bukan negara.

Pada tingkat internasional, neoliberalisme membangun pagar institusi global yang menjaga agar modal bisa keluar masuk negara tanpa hambatan. Organisasi perdagangan, bank sentral independen, hingga berbagai perjanjian ekonomi dibentuk untuk memastikan aturan pasar berjalan mulus.

Aneh tapi nyata: barang, modal, dan investasi boleh bebas bergerak, tapi manusia dibatasi. Di sini neoliberalisme bisa bersekutu dengan populisme kanan yang anti-imigran, selama modal tetap bergerak bebas.

Di balik layar, perdebatan besar juga terjadi soal sistem moneter. Ada yang ingin kembali ke emas, ada yang mendukung nilai tukar mengambang. Namun tujuan akhirnya sama: memastikan modal tidak terikat oleh kebijakan nasional.

Sistem nilai tukar mengambang membuat pasar global bisa “menghukum” negara yang mencoba keluar dari resep neoliberal. Negara berkembang yang ingin melindungi industrinya sering langsung ditekan oleh gejolak kurs dan arus modal yang keluar.

Daya tahan neoliberalisme tidak lepas dari infrastrukturnya yang luar biasa luas. Think tank seperti Atlas Network membentuk ratusan lembaga di berbagai negara, memproduksi riset, opini, dan narasi pro-pasar yang siap dipakai politisi. Bahkan Nobel Ekonomi digunakan sebagai panggung legitimasi ilmiah untuk memperkuat posisi aliran tertentu dalam ekonomi.

Dengan cara ini, neoliberalisme bukan hanya ide; ia memiliki “pabrik ide” yang bekerja tanpa henti.

Di era sekarang, neoliberalisme bertransformasi kembali dengan menggandeng populisme kanan. Ini kombinasi yang aneh, tetapi efektif.

Populisme sosial yang menolak asing dan mengusung nasionalisme secara sempit, sehingga neoliberalisme seperti politik ekonomi yang tampak melindungi warga, tapi pada dasarnya memberi jalan lebar bagi kepentingan pasar.

Solidaritas didefinisikan ulang secara eksklusif, tapi logika pasar tetap memimpin.

Meski kuat, neoliberalisme mulai tersandung masalah yang tak bisa diselesaikan dengan logika pasar.

Ketimpangan semakin parah, krisis iklim makin memburuk, dan geopolitik global semakin tegang. Ini masalah struktural yang tidak bisa ditangani dengan deregulasi atau privatisasi. Bila neoliberalisme tetap kaku, ia akan membentur batas alam dan batas sosial yang tidak bisa dinegosiasikan.

Maka itu neoliberalisme selalu berganti wajah secara lentur dengan berbagai adaptasi keadaan politik negara.

Pada akhirnya, sembilan hidup neoliberalisme menunjukkan bahwa ia bukan sekadar kebijakan, tetapi cara melihat dunia. Ia hidup melalui jaringan lembaga, teori, dan cerita yang terus diproduksi ulang.

Ia tidak mati ketika dikritik, justru memanfaatkan kritik untuk berubah bentuk. Pertanyaannya sekarang bukan “apakah neoliberalisme sudah berakhir”, tetapi “wujud apa yang akan dia pakai pada kelahiran berikutnya, dan berapa biaya sosial yang harus kita bayar lagi ketika itu terjadi."(*)