
Keterangan Gambar : Wanita Indonesia Pemerhati Pariwisata “WIPP” (sumber foto : ist/pp)
Oleh : Vivin Alwan
Ketua Umum Wanita Indonesia Pemerhati Pariwisata “WIPP”
SURGA DUNIA - Sebuah negeri dengan ribuan pulau, laut biru yang menenangkan, dan hutan tropis yang menyimpan kekayaan hayati luar biasa itulah julukan yang diberikan oleh Indonesia. Namun di balik julukan indah itu, ada paradoks yang mencolok eksploitasi sumber daya alam dan pariwisata yang terlalu berorientasi komersial kian menggerus makna sejati dari kata surga. Jika dahulu keindahan Nusantara dinikmati dengan rasa syukur dan hormat, kini sebagian besar dinilai dengan ukuran ekonomi. Saatnya kita bergerak dari paradigma komersial menuju berkelanjutan, agar “Surga Nusantara” tak hanya jadi kenangan di masa depan.
Konsep yang menyatakan bahwa keberlanjutan harus memperhitungkan tiga aspek: people (manusia atau sosial), planet (lingkungan), dan profit (ekonomi). Dalam konteks pariwisata di Nusantara, artinya pengembangan wisata harus memberi manfaat ekonomi, menghormati dan melibatkan komunitas lokal, sekaligus menjaga keseimbangan dan integritas lingkungan “Triple Bottom Line”
Selain itu di daat destinasi terlalu ramai, atau infrastruktur lingkungan tak sanggup menampung pergerakan besar wisatawan, maka terjadi over-tourism yang merugikan lingkungan dan masyarakat local yang telah diidentifikasi dalam laporan OECD bahwa beberapa destinasi Indonesia tumbuh terlalu cepat tanpa mempertimbangkan sustainability.
Ekonomi Biru (Blue Economy) dan pariwisata berbasis komunitas: Laporan dari UNDP atau DEA menyebut bahwa pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan ekonomi biru (pengelolaan laut, ekosistem pesisir) menjadi salah satu strategi untuk memperkuat pariwisata berkelanjutan di lima destinasi super-prioritas Indonesia.
Komersialisasi yang Mengikis Alam
Komersialisasi pariwisata di Indonesia kerap dianggap sebagai simbol kemajuan ekonomi daerah. Namun, di balik gemerlap promosi destinasi dan pembangunan infrastruktur mewah, ada harga mahal yang dibayar oleh alam dan masyarakat lokal. Ketika pariwisata dijalankan tanpa prinsip keberlanjutan, ia berubah dari alat pemberdayaan menjadi alat eksploitasi.
Fenomena over-tourism menjadi ancaman nyata. Menurut laporan OECD (2023), beberapa destinasi wisata Indonesia seperti Bali, Labuan Bajo, dan Danau Toba mengalami tekanan daya dukung (carrying capacity) akibat lonjakan wisatawan dan pembangunan yang tidak seimbang dengan ketersediaan sumber daya lingkungan. Over-tourism bukan hanya soal jumlah wisatawan, tetapi tentang bagaimana sistem alam, sosial, dan budaya tidak lagi mampu menanggung beban aktivitas ekonomi yang berlebihan.
Gelombang pariwisata masif dan industri ekstraktif telah membawa pendapatan besar bagi negara dan daerah. Namun, di sisi lain, banyak kawasan wisata dan alam yang rusak akibat pembangunan yang tak terkendali. Bali, misalnya, menghadapi krisis air bersih dan kemacetan akibat pertumbuhan wisata yang tak seimbang dengan daya dukung lingkungan. Di Labuan Bajo, pembangunan hotel dan pelabuhan mewah kadang mengorbankan ruang hidup masyarakat lokal dan habitat satwa. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketika orientasi utama adalah keuntungan finansial, keberlanjutan sering kali menjadi korban.
Sebagai contoh, Bali ikon pariwisata Indonesia menghadapi krisis air bersih. Kajian Bali Water Protection Program mencatat bahwa sekitar 60% sumber air bawah tanah di Bali telah menyusut, sebagian besar karena hotel dan villa mengambil air melebihi batas alami regenerasi tanah. Di sisi lain, produksi limbah meningkat pesat; data Bali Partnership for Plastic Waste menunjukkan bahwa lebih dari 1.000 ton sampah plastik per hari dihasilkan oleh aktivitas pariwisata dan konsumsi massal.
Masalah serupa juga muncul di kawasan Labuan Bajo, yang kini menjadi salah satu dari lima Destinasi Super Prioritas Indonesia. Pembangunan resort, pelabuhan, dan proyek-proyek pendukung sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan. Padahal, menurut prinsip Community-Based Tourism (CBT), pelibatan komunitas adalah fondasi utama untuk mencapai keseimbangan antara ekonomi dan sosial. Ketika masyarakat kehilangan akses terhadap lahan atau sumber mata pencaharian tradisional, maka yang tumbuh bukanlah kemajuan, melainkan ketimpangan baru.
Dari perspektif ekonomi, pendekatan komersial memang memberikan keuntungan jangka pendek. Data World Travel and Tourism Council (WTTC) menunjukkan sektor pariwisata menyumbang sekitar 5,6% terhadap PDB Indonesia pada 2024, dengan potensi tumbuh lebih tinggi pada 2034. Namun tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, keuntungan itu justru bisa menjadi bumerang. Ketika ekosistem rusak dan keaslian budaya terkikis, daya tarik wisata menurun menyebabkan economic degradation yang justru merugikan sektor tersebut sendiri.
Menurut teori Triple Bottom Line (Elkington, 1997), pembangunan yang hanya berfokus pada “profit” tanpa mempertimbangkan “people” dan “planet” pada akhirnya tidak akan bertahan lama. Alam yang rusak berarti biaya restorasi yang tinggi; masyarakat yang termarginalisasi berarti kehilangan dukungan sosial dan identitas lokal. Kedua hal itu adalah fondasi keberlanjutan pariwisata yang sejati.
Inilah paradoks komersialisasi: semakin gencar membangun tanpa batas, semakin cepat pula nilai autentik Nusantara menghilang. Di banyak tempat, keindahan yang dulu alami kini menjadi komoditas artifisial dipoles untuk media sosial, bukan dijaga untuk kehidupan. Jika arah pembangunan terus dibiarkan hanya mengikuti logika pasar, maka “Surga Nusantara” lambat laun akan tinggal cerita.
Antara Alam dan Manusia “Makna Keberlanjutan”
Keberlanjutan bukan sekadar slogan hijau atau kampanye ramah lingkungan, melainkan sebuah falsafah hidup yang menuntut keseimbangan antara alam, manusia, dan ekonomi. Di tengah ancaman komersialisasi pariwisata dan eksploitasi sumber daya alam, konsep keberlanjutan hadir sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni yang hilang antara manusia dan bumi.
Menurut United Nations World Tourism Organization (UNWTO, 2022), sustainable tourism adalah pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta berupaya memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat lokal sambil melindungi peluang masa depan. Artinya, keberlanjutan tidak melarang pertumbuhan, tetapi mengarahkan pertumbuhan itu agar tidak merusak fondasi kehidupan.
Indonesia sebenarnya memiliki modal sosial dan kultural yang kuat untuk menjadi pelopor pariwisata berkelanjutan. Banyak masyarakat adat di Nusantara telah lama hidup dengan prinsip keseimbangan ekologis. Di Bali, misalnya, filosofi Tri Hita Karana hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam menjadi contoh konkret nilai keberlanjutan lokal yang eksis jauh sebelum istilah “sustainable development” populer di dunia internasional.
Namun, dalam praktik modern, prinsip tersebut sering kali terabaikan oleh logika ekonomi global. Akibatnya, pembangunan cenderung berorientasi pada kapital, bukan keberlanjutan. Padahal, seperti dikemukakan dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam konteks Nusantara, keberlanjutan berarti mengakui bahwa manusia bukan penguasa atas alam, tetapi bagian dari siklus kehidupan itu sendiri. Menjaga hutan bukan hanya untuk mencegah bencana, tetapi juga untuk menjaga sumber air dan identitas budaya yang melekat. Melestarikan laut bukan hanya agar ikan tetap ada, tetapi juga nelayan agar tetap memiliki masa depan.
Dengan demikian, makna berkelanjutan bukan hanya urusan kebijakan, melainkan kesadaran kolektif yang harus tumbuh dari akar budaya bangsa. Selama manusia masih melihat alam sebagai “objek ekonomi”, keseimbangan itu akan rapuh. Tetapi ketika alam kembali diperlakukan sebagai “mitra kehidupan”, maka Surga Nusantara tidak akan punah tapi akan terus hidup dalam harmoni antara ciptaan dan pencipta. (*)







LEAVE A REPLY