Home Opini Sebagai Pengalih Isu Isu sensitif, Naik Rating Atau Bukan, Terserah, Yang Pasti Inilah Kebenaranya

Sebagai Pengalih Isu Isu sensitif, Naik Rating Atau Bukan, Terserah, Yang Pasti Inilah Kebenaranya

214
0
SHARE
Sebagai Pengalih Isu Isu sensitif, Naik Rating Atau Bukan, Terserah, Yang Pasti Inilah Kebenaranya

Oleh: Dr. H. J. Faisal *)

Bismillah

Duduk perkara utama kasus Trans7 dan ulama Lirboyo adalah tayangan program Xpose Uncensored yang dianggap melecehkan martabat Kyai dan kehidupan pesantren, khususnya Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, yang tayang pada tanggal 13 Oktober 2025 yang lalu. 

Tayangan tersebut memicu kemarahan publik, terutama dari kalangan ulama, santri, dan alumni.

Selain sebagai seorang pensyarah (dosen) di kampus UNIDA Bogor, saya juga adalah seorang jurnalis di bawah organisasi Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI). 

Dan Alhamdulillah, saya sendiri juga pernah mengenyam pendidikan pesantren di bilangan daerah Jakarta Barat, selama beberapa tahun, bersama adik saya ketika kami masih di Sekolah Dasar dulu. 

Ya, kami biasa membersihkan semua sarana dan prasarana belajar kami di pesantren, termasuk rumah kyai kami. Bahkan saya sering kebagian jatah membersihkan kamar mandi rumah kyai kami dan juga membersihkan bak kolam tempat kami para santri berwudhu. 

Apa anehnya?

Budaya pesantren tradisional di Indonesia memang seperti itu. Kami para santri terbiasa hidup secara bergotong royong, dan diajarkan untuk beradab kepada kyai dan guru-guru kami.

Jalan dengan membungkukkan badan atau ‘berjongkok’ untuk mendekati kyai kami, sudah biasa kami lakukan, sebagai bentuk adab penghormatan kami terhadap sosok guru, sosok yang sangat kami hormati.

Sama saja seperti adab atau takdhim nya abdi dalem keraton yang berjalan ‘berjongkok’ jika mereka akan menemui raja mereka, bukan…?

Jadi sekali lagi, apa anehnya? 

Maksud saya, jika Trans 7 ingin mengekspos pesantren, maka ekspos isi pembelajarannya, cara belajarnya. Sebagai sesama insan jurnalis yang paham tentang kode etik jurnalistik, seharusnya media mainstream besar sekelas Trans 7, harus terbiasa mencari kebenaran , bukan hanya mencari rating dan iklan.  

Media mainstream Indonesia yang memang sudah kehilangan kualitas kejurnalisannya, karena kooptasi dari rezim penguasa, memang selalu membingkai realitas bukan untuk mencerahkan, tetapi untuk menghibur dan menguntungkan. 

Media kita juga sering mengekspos kehidupan orang miskin sebagai isi acara mereka, rating dan iklan mereka nikmati, sementara si miskin yang mereka ekspos tetap melanjutkan hari-harinya dengan kemiskinan.

Seharusnya kalian para media mainstream besar yang melakukan ekspose uncensored terhadap program kalian sendiri. Terlepas tayangan yang ditayangkan sebagai ‘pesanan’ untuk ‘pengalihan isu’ negatif pemerintah yang sedang ‘hot’, yang sedang terjadi atau bukan.  

Budaya Pesantren, Antara Kesederhanaan dan Ketulusan Kyai dan Santri

Saya jelaskan sedikit ya untuk kalian yang masih memandang sebelah mata terhadap pola pendidkikan di pesantren tradisional Indonesia…

Membersihkan rumah kiai, menyapu halaman, mencuci perlengkapan belajar, semua itu bukan bentuk eksploitasi, tapi bagian dari ta’dhim (penghormatan) dan pendidikan karakter.

Pesantren tradisional mengajarkan khidmah sebagai jalan pembentukan jiwa, yaitu melayani dengan ikhlas, belajar dengan rendah hati, dan hidup dalam kebersamaan.

Jadi, apa yang dianggap “aneh” oleh media, justru adalah inti pendidikan moral yang tidak bisa ditemukan di sekolah formal.

Banyak media mengekspos kehidupan pesantren dengan lensa eksotis atau bahkan sinis, bukan dengan niat memahami. Mereka lebih tertarik pada “keunikan visual” daripada kedalaman makna.

Sama halnya dengan eksploitasi kemiskinan yang sering mereka jadikan isi acara mereka, wajah-wajah nelangsa dijadikan tontonan, tetapi tidak ada perubahan nyata bagi mereka yang ditampilkan.

Media besar sekelas Trans 7, juga media main stream besar lainnya, seharusnya menjadi cermin masyarakat, bukan cermin yang retak, atau lebih mirip kaca pembesar untuk rating.

Mereka hanya mampu menyorot yang dramatis, bukan yang mendidik. Mereka menjual penderitaan sebagai konten, bukan sebagai panggilan untuk bertindak. Apalagi sebagai platform untuk mengadu domda masyarakat.

 Artinya, jika pesantren adalah tempat membentuk manusia yang beradab, maka media seharusnya menjadi tempat membentuk masyarakat yang sadar. Tetapi ketika media kehilangan empati dan hanya mengejar rating, maka yang tersisa hanyalah tayangan kosong yang menghibur tetapi tidak mencerdaskan. Bahkan lebih condong menjadi platform pembodohan massal masyarakat.

Jadi, Ketika suara pembaca narasi lebih sibuk menyindir daripada memahami, maka yang terjadi bukan edukasi, tapi distorsi budaya.

Ingat, Trans7 adalah bagian dari CT Corp, yang dimiliki oleh Chairul Tanjung, seorang pengusaha konglomerat muslim dan juga tokoh nasional.

Maka, sangat disayangkan jika media di bawah naungan beliau justru menampilkan konten yang menyakiti hati umat Islam, terutama kalangan pesantren yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.

Tayangan itu seolah lupa bahwa pesantren bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang spiritual, intelektual, dan sosial yang membentuk karakter bangsa. Tetapi mungkin, karakter tidak cukup laku untuk menarik iklan, yaa?

Sehingga, ketika narasi dibacakan dengan nada sarkastik, kita kemudian bertanya….apakah ini jurnalistik, atau hanya hiburan yang menyamar sebagai investigasi? 

Apakah ini edukasi, atau sekadar eksploitasi?

Pemberian Kepada Kyai Bukan Transaksi, Itulah Adab Ta’dhim dan Nilai Jatmiko

Sementara untuk masalah santri yang memberi kyai mereka uang atau bingkisan lainnya, saya coba jelaskan kembali sedikit yaa….

Begini, kalau memang kyai terkadang diberi uang oleh santrinya, sesungguhnya itu adalah bentuk penghormatan kepada orang yang dinilai dapat mengayomi (Jatmiko). 

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Trans 7 mengetahui berapa isi uang yang diberikan oleh para santri tersebut kepada kyai mereka? 

Atau apakah Trans 7 mengetahui darimana para kyai itu mendapatkan uang untuk membangun rumahnya? Belum tentu pula dari para santri, bukan?

Dalam tradisi pesantren, santri memberi kepada kiai bukan karena paksaan, tetapi sebagai bentuk penghormatan dan rasa cinta.

Jumlahnya tidak ditentukan, tidak diwajibkan, dan seringkali bersifat spontan, dan kyai pun tidak menggantungkan hidupnya dari pemberian santri. Banyak yang hidup sederhana, bahkan menolak pemberian jika dirasa berlebihan.

Mungkin banyak dari anda yang belum paham, bahwa di dalam Islam itu ada yang namanya wakaf,dan kekuatan wakaf itu adalah sangat besar, dan Pesantren Lirboyo Kediri  adalah pesantren yang sudah sangat tua (baca: berdiri sejak 1910), sehingga bentuk kekuatan wakafnya sudah terbentuk dan terkumpul. 

Tradisi pemberian kepada kyai dan kekuatan wakaf dalam pesantren bukanlah praktik eksploitatif, melainkan bentuk penghormatan, keikhlasan, dan sistem sosial Islam yang sudah mengakar kuat. 

Tayangan yang menyederhanakan atau menyindir hal ini jelas menunjukkan ketidaktahuan terhadap konteks budaya dan spiritual pesantren.

Jangankan pesantren Lirboyo yang sudah sangat lama berdiri, coba lihat kekuatan wakaf yang ada di sebuah lembaga pendidikan kuttab di daerah Depok. 

Dalam waktu 3 tahun awal berdirinya saja, para orangtua santri dan masyarakat yang berwakaf bisa mengumpulkan total nilai hampir 5 milyar untuk membangun gedung belajar mereka. 

Apakah mereka dipaksa untuk berwakaf? Tidak sama sekali. 

Jadi, sekali lagi….jangan mengandalkan suara sisnis pembaca narasinya untuk mendapatkan rating ya, Trans 7.  

Bos kalian itu kan seorang muslim. Kasihan pak Chairul Tanjung kalau begini, kan?

Kekuatan memberi dalam pembelajaran Islamn di pesantren merupakan kekuatan wakaf, ta’dhim yang dibiasakan sejak kecil, agar santri tumbuh menjadi pribadi yang tidak kikir atau pelit, alias medit bin kedekut. 

Dan kehidupan pesantren adalah bagian dari pelatihan sistem sosial Islam yang luhur. 

Jadi, jika media tidak memahami ini, maka itu artinya mereka bukan sedang melaporkan, tetapi sedang mengaburkan makna. 

Dan ketika makna dikaburkan demi rating, maka yang dirugikan bukan hanya pesantren, tetapi juga integritas media itu sendiri, karena sesungguhnya media tersebut sedang mempertontonkan kebodohan mereka sendiri. 

Penutup 

Saat ini, di tengah krisis moral dan digital, pesantren justru menjadi benteng terakhir pendidikan karakter. Tetapi jika benteng ini diserang oleh media yang seharusnya menjadi mitra, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan sabotase kebudayaan dan sabotase ssosial yang terstruktur dan massif.

Coretan  ini bukan untuk menyudutkan, tetapi untuk menyadarkan. Bahwa media punya tanggung jawab bukan hanya pada rating, tetapi juga kepada kebenaran. 

Bukan hanya pada iklan, tetapi juga kepada nilai.    

Maka, mari kita ajak media untuk belajar dari pesantren, tentang kesederhanaan, tentang penghormatan, dan tentang makna. 

Karena jika kamera media hanya menyorot tanpa menyimak, maka itu media bukan lagi sebagai alat pencerah, bukan lagi sebagai penyampai kebenaran, tetapi justru berubah menjadi platform pembingkai kebodohan.

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 19 Oktober 2025

*) Pensyarah Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI