
Oleh: Elmira Fairuz Inayah
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Guna memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang hanya 5.12 persen, Menteri Keuangan yang baru Purbaya Yudhi Sadewa menarik uang dari BI sebesar 200 triliun untuk memutar roda ekonomi. Uang itu akan dialihkan untuk perbankan sebagai kredit usaha. Pasalnya, pemerintah Prabowo menginginkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen (Kompas.id, 11/9/2025).
Kebijakan Menteri Keuangan ini sontak menuai beragam pendapat dari para ekonom. Mereka umumnya menilai kebijakan itu tidak akan efektif untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia saat ini. Sebabnya, menyalurkan uang ke bank tidak serta-merta menyelesaikan pokok masalah negeri ini yang kompleks dan mengakar.
Kerapuhan Sistem Ekonomi Kapitalisme
Kondisi ekonomi nasional saat ini tengah menghadapi tekanan serius akibat kesalahan penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sejumlah indikator ekonomi makro menunjukkan pemulihan yang diharapkan pasca-pandemi belum benar-benar terjadi.
Daya beli masyarakat masih lemah, tercermin dari lesunya konsumsi rumah tangga. Padahal, sektor ini merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga terus melemah.
Pelemahan ini menambah beban bagi sektor impor dan pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku luar negeri. Situasi ini diperparah oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor, terutama manufaktur dan startup digital.
Dampak dari krisis ini tidak hanya dirasakan di sektor formal, tetapi juga langsung menyentuh struktur sosial masyarakat. Salah satu data mencengangkan datang dari penurunan jumlah kelas menengah. Menurut laporan berbagai lembaga, sekitar 9 juta orang keluar dari kelas menengah dan kembali masuk ke kelompok rentan miskin.
Yang lebih memprihatinkan, menurut standar Bank Dunia, sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin atau rentan miskin (bisnis.com, 28/4/2025). Persoalan ekonomi negeri ini diperparah dengan anggaran yang ditetapkan pemerintah tidak efektif.
Indikator Semu
Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator utama untuk mengukur keberhasilan negara dalam bidang ekonomi. Angka pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai tanda perekonomian sedang sehat dan masyarakatnya sejahtera. Namun, pertumbuhan ekonomi adalah ukuran yang bersifat agregat (rata-rata). Artinya, tidak serta-merta mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat secara perorangan.
Secara teknis, pertumbuhan ekonomi dihitung dari peningkatan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam periode waktu tertentu. Salah satu komponennya adalah konsumsi rumah tangga, yang jumlahnya diambil dari rata-rata pengeluaran masyarakat secara keseluruhan. Artinya, jika sebagian kecil masyarakat melakukan belanja yang sangat besar, hal ini tetap akan terlihat sebagai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, meski mayoritas masyarakat justru mengalami penurunan daya beli.
Solusi Tuntas Persoalan Ekonomi
Dalam konteks ini, pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama dan pemikir Islam abad ke-20, menawarkan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh. Menurut Syaikh an-Nabhani, persoalan utama dalam ekonomi adalah lemahnya pengelolaan kekayaan oleh negara.
Dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), beliau menjelaskan pentingnya negara menetapkan aturan tegas mengenai kepemilikan, pengelolaan kekayaan, dan peran negara dalam mengatur distribusi.
Beliau juga membagi kepemilikan menjadi tiga yakni kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardhiyyah), kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah) dan kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-dawlah). Konsep ini menutup celah privatisasi sumber daya strategis yang merupakan aset milik umum.
Pasalnya, sumber daya alam seperti air, listrik, tambang, dan hutan harus dikelola oleh negara secara langsung untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api" (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Khatimah
Dengan landasan kemanusiaan yang kokoh, sistem ekonomi Islam menawarkan keadilan dan keberkahan hidup. Sebagaimana firman Allah SWT, "Andai penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu, Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka” (TQS al-A'raf [7]: 96).
Oleh karena itu, di tengah ketidakpastian global dan kompleksitas ekonomi modern ini, sudah saatnya umat beralih kepada solusi ekonomi Islam yang paripurna.[]
LEAVE A REPLY