
Oleh: Edy Mulyadi
Wartawan Senior
"Kan Dirjen Bea Cukai saya bintang tiga. Kecuali bintang empatnya yang nyuruh. Kalau bintang empat, kita lapor Presiden.” (Menkeu Purbaya Yudha Sadewa)
Pernyataan itu disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan nada datar. Tapi tegas, di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis (16/10/2025). Di hadapan para pejabat dan pelaku industri, dia melontarkan kalimat yang langsung menantang arogansi para cukong mafia penyelundupan.
Inilah sinyal perang terbuka terhadap apa yang selama ini hanya dibisikkan di lorong-lorong kekuasaan. Adanya cukong lama yang memegang kendali atas jalur impor dan penyelundupan barang. Para penguasa ekonomi gelap ini telah berpuluh tahun menguasai pelabuhan, gudang, dan kebijakan. Mereka bukan sekadar pedagang. Tapi pemilik jaringan rente yang menembus dinding kementerian, aparat, dan partai politik. Bahkan mungkin juga tembok Istana, selama puluhan tahun!
Meskipun bukan orang luar sistem, Purbaya datang membawa semangat baru. Dia lama berkecimpung di lingkar kekuasaan. Pernah menjadi Deputi di Kantor Staf Presiden dan Ketua Dewan Komisioner LPS. Namun justru dari dalam itulah ia melihat kebusukan lama yang mengakar. Kongkalikong antara pejabat, aparat, dan cukong impor yang menjerat ekonomi nasional. Karena itu, gebrakannya kali ini terasa berbeda. Bukan suara pembaru dari luar, tapi teriakan perlawanan dari jantung kekuasaan sendiri.
Karena itu, kehadirannya di Kementerian Keuangan jelas mengusik. Para cukong lama gelisah. Selama ini mereka hidup nyaman dari sistem bobrok. Barang ilegal bebas masuk. Bea ditilep. Pajak diakali. Tak peduli karena semua itu menyebabkan industri lokal mati perlahan, negara dirugikan puluhan triliun. Lalu tiba-tiba datang sosok yang berani bicara “tangkap siapa pun. Lapor presiden kalau perlu.” Ini jelas ancaman eksistensial bagi mereka.
Negara atau para cukong?
Masalahnya, para cukong itu bukan tanpa pelindung. Di belakang mereka berdiri kombinasi antara pensiunan jenderal, elite partai, dan pengusaha besar yang sudah lama bermain di sektor impor tekstil, baja, dan rokok. Mereka punya uang, jaringan, dan pengaruh media. Karena itu, benturan Purbaya kali ini tak sekadar soal ekonomi. Tapi soal siapa yang sebenarnya berkuasa di negeri ini. Negara atau para cukong.
Selama dua dekade terakhir, ekonomi Indonesia memang dikuasai ekonomi rente. Nilai tambah produksi kecil. Tapi keuntungan besar dinikmati segelintir importir yang punya akses istimewa. Industri lokal tak bisa bersaing, karena barang impor lebih murah. Bukan karena efisiensi, tapi karena penyelundupan dan manipulasi pajak. Inilah sistem yang hendak ditumbangkan Purbaya. Tapi pertanyaannya: apakah dia cukup kuat melawan?
Kalimatnya tentang “bintang empat” di balik praktik penyelundupan, sesungguhnya menggambarkan dilema klasik. Niat baik dihadang tembok kekuasaan. Dia sadar, para beking mafia ini bukan sekadar level Dirjen. Melainkan mereka yang dekat dengan jantung kekuasaan. Jika Presiden benar-benar membiarkannya bekerja, ini bisa jadi titik balik. Tapi kalau tidak, gebrakan itu akan padam pelan-pelan. Seperti banyak reformis sebelumnya yang dikalahkan oleh kartel lama.
Kita sedang menyaksikan babak awal dari perang besar antara negara dan para cukong. Jika Purbaya menang, bangsa ini mungkin punya harapan baru. Ekonomi yang sehat, industri lokal bangkit, dan uang negara tidak lagi disedot tikus-tikus pelabuhan. Tapi jika dia kalah, maka negeri ini akan terus jadi koloni di tangan para pengusaha rakus dan pejabat kompromistis.
Sejarah jarang memberi dua kali kesempatan. Purbaya sudah menyalakan api. Kini tinggal apakah Prabowo mau meniupnya menjadi nyala reformasi, atau justru memadamkannya demi motivasi lain—yang bagi rakyat, tetap menjadi tabu untuk diketahui. []
Jakarta, 18 Oktober 2025
LEAVE A REPLY