Home Polkam Menemukan Urat Nadi Ekonomi Pancasila

Menemukan Urat Nadi Ekonomi Pancasila

#resensibuku

46
0
SHARE
Menemukan Urat Nadi Ekonomi Pancasila

Peresensi: Ryo Disastro
Pimred Banrehi. 


Judul Buku: Republik Yang Menunggu 
Terbitan: Kalam Nusantara Jakarta
ISBN: 978-979-18-722-1-8
Tahun: 2009
Jumlah hlm: 339+iv
Penulis: Yudhie Haryono, Ph.D
Editor: Andi Sukmono Kumba
Ukuran: 14,8 x 21 cm.

MEMBACA - Buku Republik yang Menunggu karya Prof. Yudhie Haryono bukan sekadar menelusuri halaman demi halaman tentang ekonomi. Ia seperti memasuki ruang besar bernama “Indonesia” — tempat di mana cita-cita, kegelisahan, dan kemarahan terhadap ketimpangan berpadu menjadi energi untuk berpikir ulang tentang siapa kita sebagai bangsa.

Saya menulis resensi ini bukan semata karena kekaguman saya pada karya beliau, tetapi juga karena saya merasa punya tanggung jawab moral untuk memperkenalkan sosok Yudhie Haryono — seorang ekonom Pancasila yang selama lebih dari dua dekade menulis, mengajar, dan berjuang menghidupkan kembali ide besar ekonomi yang berakar pada jati diri bangsa sendiri: ekonomi Pancasila.

Sebagai seseorang yang banyak belajar dari Prof. Yudhie, saya merasa terhormat untuk menulis sekelumit tentang buku ini. Republik yang Menunggu bukan buku biasa. Ia adalah mahakarya — magnum opus — yang merangkum seluruh perjalanan intelektual seorang pemikir yang hidup sepenuhnya untuk mencari jawaban: bagaimana menjadikan Indonesia berdiri di atas kakinya sendiri secara ekonomi dan moral.

Membaca buku ini, jujur, tidak mudah. Saya bukan berlatar belakang ekonomi, dan banyak istilah yang terasa berat di awal. Tapi justru di situlah letak keindahan buku ini. Ia mengundang intrik — memaksa kita untuk tidak sekadar membaca, tetapi berpikir. Setiap bab seperti menguliti satu per satu luka lama negeri ini: dari eksploitasi sumber daya, ketimpangan sosial, hingga kegagalan negara memahami hakikat kesejahteraan rakyatnya.

Yudhie tidak menulis dengan gaya akademis kaku. Ia menulis dengan semangat seorang pejuang. Kalimat-kalimatnya berapi, tapi penuh logika. Ia mengutip data, teori, dan sejarah bukan untuk pamer pengetahuan, melainkan untuk menggugah kesadaran kita. Ia ingin kita berhenti menjadi penonton dari “drama panjang” bangsa ini — drama yang selama puluhan tahun memperlihatkan rakyat sebagai korban sistem ekonomi yang tak pernah berpihak.

Dalam buku ini, kita diajak memahami bahwa ekonomi bukan sekadar angka-angka pertumbuhan atau stabilitas makro. Ekonomi, bagi Yudhie, adalah soal moralitas, soal kemanusiaan, soal keadilan. Pancasila, dalam pandangannya, bukan jargon politik, tetapi fondasi ekonomi yang paling masuk akal bagi negeri dengan keragaman dan kekayaan seperti Indonesia.

Ia menyebut ekonomi Pancasila sebagai jalan tengah — bukan kapitalisme yang rakus, bukan sosialisme yang represif — melainkan sistem yang berakar dari gotong royong, dari kebersamaan, dari semangat menolak penindasan dalam bentuk apa pun. Di sinilah letak kekuatan Republik yang Menunggu: ia menegaskan bahwa Pancasila bukan masa lalu, melainkan masa depan yang belum kita perjuangkan secara sungguh-sungguh.

Yang paling saya kagumi dari Prof. Yudhie adalah kemampuannya memetakan masalah ekonomi Indonesia dengan sangat tajam. Ia menunjukkan bagaimana oligarki ekonomi tumbuh dari rahim politik, bagaimana ketimpangan bukan sekadar akibat kebijakan yang salah, melainkan cerminan sistem nilai yang sudah bengkok. Ia juga menawarkan arah perubahan — bukan utopia kosong, tapi strategi berbasis ideologi dan moral bangsa.

Saya sering merasa bahwa buku ini seharusnya dibaca oleh siapa pun yang peduli pada masa depan Indonesia — bukan hanya ekonom, tapi juga aktivis, mahasiswa, politisi, bahkan pengusaha. Karena di dalamnya, kita akan menemukan peta jalan menuju republik yang sesungguhnya: republik yang menyejahterakan, bukan mengeksploitasi.

Namun, saya juga merasa bahwa gagasan-gagasan Yudhie Haryono tidak boleh berhenti di antara lembar-lembar buku ini. Ia harus menjelma menjadi virus intelektual yang menjangkiti anak muda Indonesia — mereka yang haus makna, mereka yang masih percaya bahwa bangsa ini bisa berubah.

Buku ini harus menjadi semacam Di Bawah Bendera Revolusi bagi generasi baru, atau Madilog versi ekonomi untuk mereka yang ingin melawan kebodohan struktural. Karena, seperti dua tokoh besar itu, Yudhie menulis bukan untuk dikenang, tetapi untuk menggugah.

Dan saya percaya, Republik yang Menunggu adalah panggilan — bukan hanya untuk berpikir, tetapi juga bertindak. Republik itu memang masih menunggu. Tapi ia menunggu kita: generasi yang berani berpikir berbeda, berani menolak ketimpangan, dan berani menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila di tengah dunia yang semakin kehilangan arah.

Buku ini bukan bacaan ringan, tapi ia sangat layak dibaca. Ia tidak menjanjikan hiburan, tapi memberikan kesadaran. Dan di zaman ketika kebodohan sering tampil lebih percaya diri daripada kebenaran, membaca Yudhie Haryono adalah bentuk perlawanan kecil yang sangat berarti.

Karena pada akhirnya, republik ini akan tetap menunggu—sampai kita siap menjemputnya.(*)