Home Opini WASPADA: MADRASAH DIHAPUS DALAM RUU SISDIKNAS DI RELIGIOUS NATION STATE

WASPADA: MADRASAH DIHAPUS DALAM RUU SISDIKNAS DI RELIGIOUS NATION STATE

834
0
SHARE
WASPADA: MADRASAH DIHAPUS DALAM RUU SISDIKNAS DI RELIGIOUS NATION STATE

Oleh : Pierre Suteki 

Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu), Arifin Junaidi mengkritik keras draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) karena telah menghapus penyebutan jenjang madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia. 

"Alih-alih memperkuat integrasi sekolah dan madrasah, draf RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan madrasah," kata Arifin dalam keterangannya yang sudah dibenarkan oleh anggota Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema, dikutip Senin (28/3). Ia menilai UU Sisdiknas pada 2003 yang berlaku saat ini sudah memperkuat peranan madrasah dalam satu tarikan nafas dengan sekolah. 

Dalam perspektif hukum, RUU Sisdiknas dapat dianalisis dari dua hal, yaitu: 

Pertama, kita harus memahami dulu soal MATERI khususnya menyangkut apa latar belakang diajukannya RUU REVISI UU SISDIKNAS, baik dari sisi FILOSOFIS, YURIDIS maupun SOSIOLOGIS. Jangan sampai bobotnya lebih berat ke arah POLITIS, misalnya mau membuat ROAD MAP PENDDIKAN NASIONAL dari PENDIDIKAN NASIONAL RELIGIOUS ke PENDIDIKAN NASIONAL SEKULER. Padahal soal IMTAQ itu hal yang sangat pokok dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di negeri ini selain menjadi peserta didik yang CERDAS. 

Kalau kita baca Naskah Akademik RUU SISDIKNAS, REVISI dilatarbelakangi alasan oleh karena pemerintahm enghadapi permasalahan-permasalahan serapan tenaga kerja dan ranking kualitas Perguruan Tinggi dunia, pemerintah memandang perlu menyusun Naskah Akademik (NA) untuk mengkaji secara mendalam dan komprehensif Undang-Undang yang ada terkait pendidikan,antara lain Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 

Salah satu materi kajian adalah dampak keberadaan lebih dari satu Undang-Undang terkait pendidikan. Pasal 31 ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yangdiatur dengan undang-undang.” Pengaturan satu sistem pendidikan
nasional dalam beberapa Undang-Undang yang berbeda menimbulkan pertanyaan apakah: 

a) terjadi pengaturan yang tumpang tindih dan 
saling bertentangan, atau 

b) adanya materi-materi di tingkat Undang-Undang yang selayaknya diatur dalam peraturan turunan dan bukan di tingkat Undang-Undang, yang mengakibatkan mandat dari UUD NRI 1945 untuk satu kesatuan sistem pendidikan nasional tidak terpenuhi. 

Dari sisi materi, menurut perumus NA dan RUU Sisdiknas, jenjang pendidikan tidak perlu disebut dalam UU melainkan di dalam peraturan pelaksanaannya. Pertanyaan saya: DI MANA SALAHNYA KLO MENYEBUTKAN JENJANG PENDIDIKAN DI UU? Khususnya khas: MADRASAH sebagai salah satu indikator kita sebagai RELIGIOUS NATION STATE. 

Kedua, soal PROSES pembentukannya harus sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Proses dengan PARTISIPASI PUBLIK harus sepenuhnya dilakukan dalam penyusunan RUU hingga pengesahan RUU menjadi UU sehingga tidak menimbulkan kegaduhan baru, misal soal dana penyelenggaraan pendidikan, masihkah dan BOS dipertahankan, bagaimana dengan jenis-jenis pendidikan termasuk pendidikan agama? Penggalian aspirasi seluruh komponen dan elemen penting pend di masyarakat harus diajak bicara (swasta, pesantren dll). 

KH Cholil Nafis menanggapi RUU Sisdiknas yang menurutnya menghilangkan jejak sejarah atau anti istilah Arab (SINDOnews). Dalam pandangan hukum, kedudukan dan penggunaan diksi/istilah madrasah itu dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. 

Ir. Soekarno pernah bilang: JAS MERAH. Kita baca sejarah pendidikan di Indonesia. Sebelum ada Pendidikan Nasional, yang dimulai dari zaman Belanda, misalnya: (1) Hollandsch-Inlandsche School (HIS) (1914) (SD); (2) Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (SMP); (3) Algemeene Middelbare School (AMS) (SMA), kita sdh mengenal adanya SEKOLAH PARA SANTRI yang disebut PESANTREN dengan istilah MADSRASAH (baik Ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah). 

Istilah pesantren pada dasarnya merupakan sebuah tempat pendidikan Islam tradisional yang di dalamnya juga terdapat asrama bagi para siswa atau muridnya. Dengan kata lain, para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu agama di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai. 

Melansir dari laman tebuireng.online, pada 1899 Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang. Lalu dalam perkembangan ada pengkhususan nama sesuai dengan tingkat pembelajaran, ada Madrasah (SEKOLAH) umat Islam mulai dari Ibtidaiyah (dasar), Tsanawiyah (menengah) dan Aliyah (atas). Jadi dari sisi sejarah kita tdk boleh begitu saja membuang istilah-istilah yang sudah baku dan dikenal baik dlm masyarakat bahkan secara hukum juga telah mendapatkan legitimasi baik di UU maupun turunannya. 

Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjamin pemeluk agama meyakini dan menjalankan kepercayaannya termasuk bagaimana menyelenggarakan model pendidikan dgn kekhususan. Dalam Pasal 31 ayat 3 juga disebutkan bahwa Pwmerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidkan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yg diatur dgn UU. Hal ini diperkuat oleh UU HAM No. 39 Tahun 1999.  

Pasal 32 UUD ayat (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Artinya termasuk BAHASA juga boleh dipertahankan, termasuk bahasa ARAB utk penyebutan jenis dan jenjang pendidikan (MADRASAH). 

Lagi pula, istilah MADRASAH pun sdh menjadi kata dalam bahasa Indonesia dari Arab. Secara etimologi, kata “madrasah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sekolah ataupun akademi yang umumnya bersumber pada Agama Islam. Jadi dari sisi diksi, menurut hukum tidak ada alasan yang dpat dipertanggungjawabkan atas upaya mengeliminir kata madrasah dari pasal-pasal UU Sisdiknas, bahkan harus disebutkan untk mengokohkan posisi jenjang pendidikan dgn kekhususan yg telah dirintia oleh umat Islam di negara RELIGIOUS NATION STATE ini. 

Ada beberapa pihak yang menyebut ini agenda terstruktur sekularisasi pendidikan, benarkan demikian? Memang pernyataan pimpinan negara itu berakibat multyflyer effect. Setahu saya banyak pemimpin negeri ini yg menyatakan agar AGAMA DIPISAHKAN DARI KEHIDUPAN PEMERINTAHAN. Ini namanya SEKULERISASI. Upayanya antara lain dgn Pluralisme SALAM, membuang atau menyingkirkan istilah baku agama, termasuk istilah agama Islam dari penyelenggaraan pemerintahan, apakah itu dunia pendidikan, dunia perbankan, dunia politik dll. 

Terkait dengan isu eliminasi diksi madrasah dari RUU Sisdiknas, ada beberapa kesan dan harapan agar UU Sisdiknas tetap salam koridor religious nation state, yang nota bene 87% penduduk Indonesia beragama Islam. 

Pertama, Saya perlu mendesak penundaan revisi UU Sisdiknas. Tidak ada urgensi revisi UU Sisdiknas. Apalagi sdh asa upaya mengeliminir istilah baku dalam pendidikan Islam, yakni soal MADRASSAH yg secara tegas telah disebutkan dalam UU Sisdiknas, yakni terkait dengan pengaturan tentang satuan pendidikan dasar tertulis gamblang di Pasal 17 Ayat (2). 

Ayat itu berbunyi "Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat." 

Tidak disebutkannya jenjang pendidikan madrasah itu dpt berakibat semakin tidak diakuinya (diremehkannya) jenis pendidikan agama, dan terkesan kalau pendidikan ini hanya membahas soal pengetahuan agama yang terpisah dari pengetahuan umum. Atau mungkin ada ketakutan bahwa pendidikan madrasah akan melahirkan kelompok radikal, ekstermis dan terroris? Lalu dengan dalih moderasi maka istilah KEARAB-ARABAN hendak disingkirkan pula. Ini sudah terjangkit ISLAMOFOBIA  bangsa ini, sementara di tingkat GLOBAL, PBB sdh mendeklarasikan HARI ANTI ISLAMOFOBIA tanggal 15 Maret 2022 yll. 

Kedua, Lebih baik pemerintah fokus memulihkan pembelajaran yang sempat terkendala karena pandemi Covid-19. Ketiga, Di samping itu perlu diusulkan pembentukan Panitia Kerja Nasional revisi UU Sisdiknas. Tim itu akan bertugas merancang peta jalan (ROAD MAP) pendidikan Indonesia serta naskah akademik dan rancangan UU Sisdiknas. Keempat, jika tatap dikehendaki, maka perumusan rancangan UU Sisdiknas harus tetap melibatkan para pemangku kepentingan pendidikan. 

Tabik...!!!
Semarang, RABU: 30 Maret 2022