Home Edukasi Urgensi Diksi Dalam Narasi.

Urgensi Diksi Dalam Narasi.

1,661
0
SHARE
Urgensi Diksi Dalam Narasi.

Keterangan Gambar : Muhlisin Ibnu Muhtarom, Pendidik di Darunnajah, alumni Pascasarjana UIKA Bogor dan Summer Course Ummul Qura Makkah (sumber foto : ist/dok pribadi/pp)

Oleh : Muhlisin Ibnu Muhtarom *

TIDAK BERLEBIHAN - Jika ada ungkapan tiada hari tanpa ujian. Terlebih pada saat ini, di samping adanya bencana global pandemi Corona yang berefek ke berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia; kesehatan, keagamaan, ekonomi, pendidikan, politik, sosial budaya, juga bertambah lagi ujian terkait pemahaman dan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Awal bulan Ramadhan ini setidaknya ada dua fakta Bahasa Indonesia yang secara nyata kembali mengingatkan kita arti penting pilihan kata (diksi) beserta akibat yang ditimbulkannya (konsekuensi) dalam suatu narasi. Pertama, polemik pemaknaan dan atau penafsiran ulang (reinterpretasi) dan reposisi kata ‘mudik dan pulang kampung’ dalam sebuah dialog televisi nasional dengan nara sumber Pemimpin Tertinggi negeri ini. Kedua penggunaan istilah ‘Nasi Anjing’ dalam program pembagian makanan di Warakas Papanggo Tanjung Priok Jakarta Utara. 

Tulisan ini tidak akan mengulangi pembahasan keduanya karena sudah cukup banyak yang mengulasnya, baik di media massa maupun media sosial. Penulis tertarik untuk mengajak kita semua kembali mencermati urgensi dan konsekuensi logis diksi dalam narasi. Bijak bestari berkata musibah yang menimpa satu kaum adalah pelajaran bagi kaum lainnya. 

Seorang yang beriman kepada Allah SWT mestinya menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari lisannya, termasuk setiap kata yang lahir dari tulisannya pasti akan dimintai pertanggungjawabannya. “Tidak ada satu ucapan yang diucapkan kecuali akan dicatat oleh Raqib Atid. (QS. Qaf [50] : 18). Begitu signifikannya makna sebuah ungkapan, terlebih jika disampaikan oleh penguasa sehingga Al Qur’an memberikan perhatian dalam hal ini dengan mengabadikan kata-kata fenomenal dari para tokoh sejarah masa lalu, baik yang bermakna positif konstruktif maupun negatif destruktif. 

Misalnya dalam Al Qur’an surat Al Baqarah [2]: 133 terekam jelas ungkapan Nabi Ya’qub AS kepada anak-anaknya: “Apa yang hendak kalian sembah sepeninggalku?”, diksi dalam narasi ini menunjukkan urgensi pendidikan  Ideologi, Aqidah atau Tauhid kepada generasi penerus harus diprioritaskan tanpa menihilkan pendidikan ekonomi, politik,  sosial budaya dan lainnya. 

Contoh lainnya adalah ungkapan Nabi Nuh AS, hal mana setelah berdakwah ratusan tahun kepada keluarga dan umatnya, kemudian Allah SWT perintahkannya membuat kapal, maka ketika terjadi Tsunami yang dahsyat, ia panggil anaknya dengan penuh kasih-sayang, betapa diksi dalam narasi ini menjadi indikasi bahwa tanggungjawab orang tua begitu besar terhadap keselamatan keluarganya: “Wahai anakku, naiklah kamu bersama kami ( ke dalam perahu)  dan janganlan kamu bersama-sama orang yang ingkar!”. (QS. Hud [11]: 42). Akhirnya Allah SWT mengonfirmasi kesedihan Nabi Nuh AS  atas tenggelamya Kan’an bahwa ia hanya anak biologis tapi bukan anak ideologis yang berkonsekuensi hanya bersamanya di dunia tetapi terpisah di akheratnya. 

Diksi dalam narasi kesombongan yang mengakibatkan kehancuran si empunya juga termaktub dalam Al Qur’an surat An Nazi’at [79]: 24: “Maka (Fir’aun) berkata Saya adalah Tuhanmu Yang Maha Tinggi!”. Sejarah mencatat kehinaan Fir’aun atau Ramses II pada akhir hayatnya mati tenggelam di Laut Merah Mesir. Ia mengklaim dirinya sendiri sebagai Tuhan padahal Hantu yang begitu menakutkan bagi warganya karena kebijakannya yang otoriter dan represif. 

Demikian pula diksi dalam narasi pembangkangan Iblis ketika ia menolak diperintah sujud kepada Nabi Adam AS, lantaran berpedoman serta bersikukuh kepada teori keistimewaan materi daripada Titah Ilahi, “Berkata (iblis), Aku lebih baik daripadanya (Adam AS), engkau menciptakanku dari api dan Engkau menciptakannya dari tanah liat!”. (QS. Shad [38] : 76). Konsekuensinya iblis termasuk mahluk terlaknat dan akan kekal di neraka dengan siksa berat tanpa pernah merasa nikmat walau sesaat. 

Maka sungguh benarlah Rasulullah Muhammad SAW yang mengajarkan barang siapa beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir hendaknya berkata yang benar atau diam. Perkataan yang baik merupakan sedekah. Seorang muslim yang baik adalah manakala orang lain selamat dari keburukan tangan dan lisannya.  

Walhasil, jika Sukarno dikenang dengan ungkapannya, “Berikan aku sepuluh pemuda niscaya akan kugoncangkan dunia”, Suharto dengan “Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh (jangan mudah kaget, jangan mudah kagum, jangan sombong)”, Habibi dengan “Imtaq dan Iptek”nya, Gus Dur dengan slogan humanisnya ‘Gitu aja kok repot”, lantas bagaimana para pemimpin setelahnya akan dikenang oleh rakyat Indonesia?.  

*)  Penulis berprofesi sebagai Pendidik di Darunnajah, alumni Pascasarjana UIKA Bogor dan Summer Course Ummul Qura Makkah