Home Seni Budaya Polusi Visual di Ruang Publik

Polusi Visual di Ruang Publik

Oleh Helmi Haska

1,779
0
SHARE
Polusi  Visual  di Ruang Publik

Keterangan Gambar : foto ilustrasi

Pengalaman visual masyarakat urban tidak melulu tersusun atas tumpukan gedung, pemukiman, dan arus kendaraan. Kota menyimpan detail visual yang melimpah. Mulai dari citraan komersial pada poster, billboard, dan banner berukuran raksasa, rambu-rambu lalu lintas, hingga coretan liar, yang bertebaran di ruang publik. 

Ruang publik yang dimaksud dengannya adalah tempat-tempat, biasanya dalam sebuah kota, yang dibuat dan disediakan untuk dipakai, oleh masyarakat umum, tanpa membedakan jenis gender, umur, kelas sosial, agama sampai etnisitas. Dan aktivitas yang biasanya dilakukan oleh publik pemakai tempat-tempat seperti itu pun beragam, mulai dari yang sekedar mencari tempat teduh dan rileks, tempat berolah raga sampai berpacaran.

Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2019,  tak lepas dari media-media peraga seperti spanduk, baliho, poster,sticker dan lain-lain.  Di sepanjang perjalanan  kita tak lepas melihat kesemrawutan pemasangan media kampanye peraga tersebut. Entah itu di tembok-tembok rumah, jembatan, taman, kendaraan-kendaraan umum, warung, pagar, pepohonan dan masih banyak lagi berbagai tempat yang dipasang semrawut. Ruang publik  dipadati visual, sebagai bentuk unjuk kekuatan (show of force).

Di sisi lain, lanskap kota diwarnai grafiti  yang menyebar secara masif di banyak tempat, mulai dari tembok-tembok jalanan, pagar rumah, tembok sekolah, tiang listrik, toilet umum, jembatan, dan sebagainya. Kehadirannya tidak terbatas di kawasan tertentu. Grafiti pada umumnya bersifat anonymous, yang menggambari atau mencorat-coret dinding   memakai cat tembok yang dikombinasikan dengan cat semprot dan spidol. 

Sementara  seniman street art yang lain menuangkan ide dan gagasan mereka ke dalam bentuk wheat paste, yaitu gambar di atas kertas yang ditempel dengan menggunakan perekat dari tepung kanji (tapioka/aci) yang dididihkan. Wheat paste juga dikenal dengan nama Marxist glue, sebab di masa lampau kerap digunakan oleh organisasi beraliran kiri. Kini cara itu diadopsi untuk berbagai aksi seni rupa, termasuk dalam membuat karya street art, meskipun karyanya tak selalu bermuatan politis.

Teks atau dalam khasanah street art  kerap digunakan untuk mewakili beragam ekspresi perasaan yang spontan, seperti marah (memaki, menyerapah), kaget, hingga olok-olok. Ekspresi yang diwujudkan secara vandal.Vandal adalah unsur penting dalam aktivitas street art. Coretan vandal yang nakal merupakan reaksi atas otoritas (sistem kekuasaan) yang melingkupi suatu ruang.

Sekarang kita mendapati  “ruang publik” sebagai medan perang tanda. Ruang publik yang dipahami awam sebagai itu  tempat-tempat yang dibuat dan disediakan oleh pemerintah untuk dipakai oleh masyarakat umum itu, menjadi arena  berkompetisi produk komersial, pencitraan para birokrat, dan unjuk kuasa partai politik atau ormas atas wilayah tertentu. Di sisi lain, ,kritik dan rasa muak atas otoritas (sistem kekuasaan) yang diusung  graffiti  di tembok-tembok kota, membuat kita kehilangan orientasi: apakah kita masih hidup di Denpasar Timur atau di Bronx (New York), misalnya.

Dalam mengelola”ruang publik”, para pemangku kebijakan (dan wacana), membawa kita ke konsep demokrasi.  Sebuah kondisi kehidupan di mana masyarakat umum atau “publik” memegang peranan yang sangat penting. Konsep demokrasi mengisyaratkan bahwa kekuasaan politik yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat adalah kekuasaan yang memang benar-benar berasal dari masyarakat,  demi kebahagiaan masyarakat itu sendiri.

Masyarakat memiliki kekuasaan mengawasi tepat-tidaknya kekuasaan pemerintahan dilaksanakan, oleh siapa pun, yang mereka pilih untuk melakukannya. Masyarakat umum atau publik memiliki kekuasaan politik paling tinggi dalam sebuah kondisi kehidupan yang disebut sebagai demokrasi. Partisipasi publik dalam mengelola ruang publik

Kita mulai dari fenomena sederhana bahwa beberapa tembok di kota kita dicoreti, beberapa menarik perhatian kita, beberapa lagi menyebalkan dan biasa-biasa saja. Kita mencoba mencari alasan mengapa tembok-tembok itu dicoreti dengan harapan kita dapat merefleksikan diri dan memaknai sedikit banyak hal, seperti ekspresi individu dan seni misalnya, kondisi sosial dan budaya misalnya, atau mungkin ruang publik misalnya. Pertanyaannya sekarang adalah; mungkinkah?

Mungkinkah? Karena kita tidak sedang berada di New York circa 70-an, ketika kota itu disapu bencana ekonomi, hampir bankrut dan melewati sebuah proses transformasi sosial, politik dan budaya besar-besaran. Perkembangan teknologi dan perubahan infrastrukur yang dibarengi pula dengan pemotongan subsidi atas hampir semua pelayanan publik, tingginya angka kekerasan dan kriminalitas, rasisme akut, imigrasi besar-besaran plus penumpukan veteran perang Vietnam yang berhadapan dengan ketiadaan pekerjaan dan tempat tinggal yang cukup, semuanya meninggalkan para penghuni ghetto-ghetto di New York, dalam kemiskinan sistematis dan dalam situasi ‘no-go’, dimana mereka yang diizinkan masuk adalah mereka yang tak diizinkan pula untuk keluar.

Dalam kata lain, kita tidak sedang mencoba melihat fenomena graffiti lokal sama dengan cerita-cerita di New York, tentang anak muda di ghetto-ghetto yang tak memiliki apapun untuk mengekspresikan diri mereka kecuali pergi ke taman-taman dan pojok-pojok kota, sedemikian rupa sehingga melahirkan tradisi memutar lagu (DJ), membacot (Rap), menari (Breakdance) dan ‘menulisi’ subway dan tembok (Graffiti).

Oleh karena itu, jangan pula kita berharap dapat membicarakan lebih banyak lagi mengenai beragam studi banding dalam membaca fenomena graffiti lokal, karena yang kita miliki hanya fenomena satu-dua yang tidak lahir dari tradisi, spot pieces satu-dua yang kadang menarik namun seringnya hanya sekedarnya, komunitas writer yang satu-dua dan saling mengalineasi, kompetisi setengah hati, styling cangkokan (kalau tak bisa disebut rip-off), dan tentu saja nilai-nilai lain yang tidak lahir dari kemunduran peradaban seperti di New York,  namun hanya aktivitas pengisi liburan sekolah dan acara korporasi berkedok ‘street art’.

Tapi tetap tidak mengapa, sekali lagi mari kita lihat fenomena sederhana bahwa beberapa tembok di kota ini di coreti, beberapa ada yang membuat kita menghentikan kendaraan, beberapa lagi menyebalkan. Untuk lebih fair, mungkin kita harus melihat tembok sebagai tembok.

Apapun subjektifitas kita, interpretasi dan respon tak akan pernah ada jika tembok itu kosong. Dan pada awalnya, semua tembok itu kosong, biasanya putih, sebelum dicoreti oleh para writer, ditempeli poster dan stiker, di tag, atau diklaim oleh iklan komersil. Ketika mulai ditandai oleh image dan makna yang mereka inginkan, tembok-tembok itu “dikonsumsi” oleh khalayak yang menginterpretasikannya. Persis seperti ruangan kamar kita, yang temboknya kita maknai dengan image poster grup musik, foto pacar, dan sejenisnya, yang jelas berbeda fungsinya dengan jam dinding.

Cukup gampang jika kita membayangkan kasus ini di ruang pribadi, namun kesempatan kita melatih kemampuan kita merangkai imaji dan memberikan makna pada dinding, akan segera terhenti bila keluar dari kamar. Logika mudah tentang memaknai wilayah sekitar kalian segera dibungkam ketika kita mulai berbagi imaji dan makna dengan orang lain di tempat ramai. Akar permasalahannya?

Semua orang sudah tahu, CREAM, Cash Rules Everything Around Me. Logika sederhana kapitalisme yang paling primitif atas ruang publik adalah, mereka yang memiliki uang, yang memiliki akses untuk merangkai imaji, memproduksi makna dan membuat alur menyebarkan informasi sesuai kehendak mereka. Hegemoni mereka tak hanya diperkuat dengan teknologi namun juga dengan undang-undang yang melindungi dominasi mereka. Tentu saja mereka memenangkan ruang,, karena mereka yang menentukan mana yang objektif, dan  mana yang bukan. Mana yang benar, mana yang salah, yang bermoral dan yang tidak.

Disinilah mungkin satu-satunya poin dimana kita bisa berbicara tentang fenomena graffiti di ranah lokal. Coretan kawan-kawan adalah sebuah tanda kalian berbicara tentang sesuatu identitas yang mencoba menginterupsi dominasi kapital dalam hal estetika “Mana yang keren dan mana yang butut” ketika merangkai imaji dan makna. Sesimpel itu, meski kenyataannya memang tidak sesimpel itu. Dari sini kita tak usah berdebat panjang tentang ilegal/legalitas graffiti, tentang sell-ot atau tidak, mereka yang memperpanjang (memperpendek?) jangkauan pencitraan didalam galeri. Kita bisa menarik kesimpulan sendiri di titik ini.

“Seseorang tak akan pernah mengerti apa itu graffiti kecuali mereka tinggal di New York hidup dikelilingi bangunan-bangunan yang ditinggalkan dan tembok-tembok kosong menerawang” , ujar BRIM salah seorang pionir graff New York. ***