Home Seni Budaya Mengangkat Potensi Kebudayaan Masa Lalu dalam Format Kekinian

Mengangkat Potensi Kebudayaan Masa Lalu dalam Format Kekinian

Ireng Halimun Koordinator Pameran Seni Rupa Indonesia Local Genius

1,919
0
SHARE
Mengangkat Potensi Kebudayaan Masa Lalu dalam Format Kekinian

Di tengah maraknya wacana tentang seni rupa kontemporer di Indonesia, masih banyak pelukis (perupa) yang peduli dan bertanggung jawab dalam mengangkat aktivitas dan produk kebudayaan di masa lampau atau kesenian daerah yang masih ditradisikan saat ini. Kami adalah sebagiab dari peseni yang masih peduli pada aspek itu. Kami sangat mengapresiasi nilai-nilai genuin, keraifan lokal (local visdom), folklor, dan potensi kebudayaan di tengah masyarakat yang dikategorikan sebagai local genius. 

Local genius yang berupa kemampuan masyarakat Indonesia yang terdiri dari ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Kebudayaan asli ini digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain, kemudian berinteraksi dengan kebudayaan asing. Mereka pun well inform dengan menerima, memilah, memilih dan mengambil kebudayaan dari luar yang dianggap baik dan pantas dipadukan dengan kebudayaan asli Indonesia. 

Dalam fakta sejarah misalnya, kebudayaan Hindu dan Budha mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan kerja pintar dalam memilih, kebudayaan itu disesuaikan dan diartikulturasikan dengan kebudayaan asli Indonesia. Muncul seni arsitektur, monumen, dan relief di beberapa candi yang corak ragam hiasnya turut memperkaya seni wayang dan batik. 

Di dalam local genius kebudayaan Indoensia, secara spesifik ada beberapa kebudayaan yang dianggap sebagai kemampuan masyarakat Indonesia yang mengambil sisi baik dari kebudayaan luar. Seperti kebudayaan Islam yang dipilah dari berbagai daerah di Arab, Persia, Tiongkok, Turki dan Gujarat. 

Hasil paduan itu, seperti ada beberapa wali yang menggunakan seni wayang sebagai media dakwahnya, seni kaligrafi paduan kebudayaan luar dengan kebudayaan asli Indonesia, sahibul hikayat, berzanji, qasidah, nasyid, marawis, tari saman dan sebagainya. 

Dari akulturasi tersebut terciptalah kebudayaan Islam di Indonesia yang memiliki corak yang uni ke-Indonesiaannya. Bahkan menurut budaywan Remy Sylado, nama-nama tokoh Punakawan pun diambil dari bahasa Arab, kata-kata yang baik dalam upaya menyiarkan agama. 

Begitu pula dengan dipilihnya sisi baik kebudayaan
  Kristiani dan Tionghoa, kemudian dipadukan dengan kebudayaan asli Indonesia, memunculkan corak kebudayaan baru seperti musik kroncong, opera, gambang kromong, barongsai, seni patung, seni arsitektur dan sebagainya. 

Ke 21 pelukis/perupa yang peduli ada aspek local genius itu adalah Agoes Noer, Adhy Handayana, Alief, Aries Tanjung, Baem Ibrahim, Bejo Saputro, Depi Irawan, Djoko Harijanto, Eddy Kamal, Hendrikus David, Ireng Halimun, Jarot Soekisno, Kembang Sepatu, M.Fathoni, Nadia Tarsanto, Nanuk Bemu, Novandi, S.Yogi Karmas, Thomas Tri Wibowo, Tri Sabariman dan Yusuf Dwiyono. 

Dengan berbagai gaya, teknik dan subject matter mempersembahkan beberapa karya seni rupa yang diharapkan menjadi representatif sebagai cerminan dari masyarakat di 34 propinsi di Indonesia. Peran yang dilakukanya adalah menguak beberapa kebudayaan adiluhung yang ada di negara kita dan mengemasnya ke dalam kekinian yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi, agar masyakat Indonesia dan dunia merespon kembali bahwa negara kita sarat dengan kebudayaan dan peradaban yang tinggi. 

Bukankah menuntut ilmu itu wajib dari ayunan hingga ke liang kubur. Karya-karya
  yang ditunjukkan di dalam pameran ini sejatinya bukanlah karya final. Mungkin lebih tepat sebagai karya yang muncul ditengan proses pencarian, observasi dan pembelajaran yang dilakukan. Meskipun ini hanya sebuah catatan, rekaman dan pendokumentasian dengan sekedar meniru objek (mimesis) pada potensi kebudayaan kita di masa lalu, unsur gagasan dan jati diri dari masing-masing pelukis pun tertuang di taferil dalam format yang sesuai kemajuan teknologi saat ini. 

Sehingga memiliki alasan dan keyakinan bahwa karya-karya yang dikerjakan dengan penuh kedisiplinan dan keseriusan ini layak untuk dipamerkan, diapresiasi dan dikoleksi. Kegiatan pameran yang sarat pembelajaran ini bukanlah kegiatan sesaat yang sehabis digelar langsung bubar. Tetapi menjadi sebuah kegiatan sekuel yang berkesinambungan ke depanya. 

(ratman/rls/pp)