Home Opini Zalim, Ketetapan Standar Hidup dengan Ukuran Tak Layak!

Zalim, Ketetapan Standar Hidup dengan Ukuran Tak Layak!

604
0
SHARE
Zalim, Ketetapan Standar Hidup dengan Ukuran Tak Layak!

Oleh : Deti Kutsiya Dewi, S.Tr.Ak,M.S.Ak,
Aktivis Dakwah 


MASYARAKAT - Sedang geram terutama para buruh dengan pemaparan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai standar hidup layak 2024 yang hanya sebesar Rp1,02 juta per bulan. BPS mengklaim, ‘standar’ ini hanya bagian dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (IPM) dan bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia. Standar tersebut mencerminkan seberapa banyak barang dan jasa yang dikonsumsi, semakin tinggi angkanya maka standar hidup dapat dikatakan lebih baik menurut BPS. 

Bahkan, dilansir CNN Indonesia, (28/11/2024), Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengkritik penggunaan istilah ‘standar’ dalam survei BPS, karena hal itu berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL). Padahal para buruh yang memiliki gaji pada kisaran Rp3 jutaan saja harus berhemat, karena gaji tersebut dipakai untuk menafkahi anak, istri serta untuk membayar biaya tetap lainnya yang harus dikeluarkan setiap bulannya seperti biaya listrik, air, tempat tinggal dan lain sebagainya. 

Pada akhirnya para buruh harus berhemat, salah satu kebutuhan yang dapat ditekan yakni konsumsi makanan dan memilih tempat tinggal yang sesuai pendapatan yang pada akhirnya menjadikan kehidupan yang dijalani tidak layak. Maka dianggap tidak tepat jika BPS menggunakan kata-kata standar hidup layak. Ristandi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) juga mempertanyakan mengenai parameter standar hidup layak yang digunakan BPS sehingga menghasilkan angka Rp1,02 juta. 

Di sisi lain, BPS mengklaim dimensi standar hidup layak dalam IPM dihitung melalui rata-rata pengeluaran dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang sudah disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli. Begitulah ironi kehidupan dalam sistem kapitalisme, data statistik pun bisa disesuaikan untuk mendapatkan hasil dan angka yang diinginkan, bahkan politikus dan penulis asal Yahudi Benjamin Disraeli yang mengusung sistem kapitalisme saja mengamini bahwa statistik merupakan salah satu dari tiga macam kebohongan. Berbicara mengenai gaji untuk standar hidup layak bagi buruh tidak akan ada habisnya, selama dasarnya masih menggunakan paradigma sistem kapitalisme.

Dalam sistem kapitalisme buruh dipandang sebagai bagian dari faktor produksi, sehingga mengantarkan pada sistem penggajian yang diambil berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup yang paling minim bagi setiap individu guna menekan biaya produksi perusahaan. Selain itu, kapitalisme juga mengukur kesejahteraan dari pendapatan perkapita yang akan membuat ukuran bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin. Karena itu ukuran berdasarkan angka sejatinya adalah ukuran menyesatkan.

Dalam sistem ini rakyat bukan menjadi prioritas perhatian karena penguasa tidak menjadikan pengurusan rakyat sebagai tugas pokok penguasa. Negara telah zalim ketika menentukan standar hidup layak dengan jumlah minimal yang sejatinya tidak layak untuk mewujudkan kesejahteraan. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara membiarkan rakyat hidup dalam keterbatasan. Sistem kapitalisme tidak memanusiakan manusia karena sistem ini berorientasi pada keuntungan saja, alhasil gaji buruh ditekan seminim mungkin dan standar hidup layak hanya seputar angka saja bukan realita yang terjadi dalam masyarakat.

Konsep hidup layak yang memanusiakan manusia hanya ada pada sistem Islam. Kelayakan manusia tidak diukur dari gaji yang didapatkan buruh, melainkan dihitung dari terjaminnya individu per individu dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka, seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Hal ini berdasarkan dari asas keadilan dan kesejahteraan yang merupakan prinsip dasar kegiatan ekonomi (muamalah) Islam.

Sistem Islam menjadikan negara sebagai raa’in (pengurus) yang wajib mengurusi rakyatnya termasuk menjamin terwujudnya kesejahteraan individu per individu. Hal ini akan terwujud dengan penerapan Islam secara kaffah. Islam menjamin individu rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yakni dengan syariat.

Islam mewajibkan bekerja bagi laki-laki, dengan bekerja ia mendapatkan gaji untuk menghidupi keluarganya dengan layak seperti dalam firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 233: “… kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya…”. 

Agar syariat tersebut dapat terlaksana secara optimal maka Islam juga memiliki syariat terkait penetapan gaji yang layak. Merujuk pada kitab An-Nizham al iqtishadiy fil Islam yang ditulis oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani seorang mujtahid pendiri partai politik Islam ideologis dijelaskan bahwa penetapan untuk memperkirakan gaji adalah jasa. Pasalnya akad ijarah (kontrak kerja) menyatakan adanya jasa tertentu, karena itu gaji pekerja tidak diperkirakan berdasarkan produksi pekerja dan tidak pula berdasarkan batas taraf hidup yang paling rendah.

Syariat penetapan gaji wajib diterapkan dalam setiap akad ijarah atau kontrak kerja. Sehingga bagi para majikan, perusahaan, ahli gaji (khubara’) maupun negara harus mentaati syariat tersebut. Maka dari itu, para pekerja bisa mendapatkan upah yang bisa menaikkan taraf hidup mereka, pekerja yang memiliki pekerjaan lebih berat, lebih rajin bisa mendapatkan gaji yang lebih banyak. Sistem ekonomi Islam juga memiliki konsep tentang kepemilikan harta, dan menetapkan apa saja yang termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Hasil pengelolaan ini akan dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan dan menghasilkan kesejahteraan rakyat yang ditampung dalam baitul maal.

Maka kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan yang sifatnya komunal dan membutuhkan tenaga ahli sehingga menimbulkan biaya yang cukup mahal dijamin langsung oleh negara dengan biaya yang didapatkan dari baitul maal tersebut. Sehingga tidak akan terjadi ketimpangan dan diskriminasi dalam pemenuhan kebutuhan dasar publik seperti saat ini. Maka jelaslah hanya sistem Islam yang bisa menyejahterakan masyarakat secara menyeluruh.[]