Home Opini Tragedi Kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Buah Human Error ?

Tragedi Kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Buah Human Error ?

1,099
0
SHARE
Tragedi Kebakaran Depo Pertamina Plumpang,  Buah Human Error ?

Oleh: Reno Pratiwi 
Dosen PTS di Jakarta dan Mahasiswa Doktoral FTUI


Jumat malam, 3 Maret 2023, menjadi momen yang tidak terlupakan bagi ratusan warga Plumpang, Jakarta Utara. Kebakaran besar terjadi pada depo Pertamina Plumpang, hingga kemudian berdampak pada pemukiman warga yang berjarak sekitar 1.5 km dari area depo. Tercatat korban jiwa mencapai 19 orang, terluka 49 orang, serta ratusan warga terpaksa mengungsi karena kehilangan tempat tinggal yang dilahap si jago merah. 

Depo Pertamina Plumpang merupakan stasiun pengumpulan dan penyimpanan bahan bakar minyak yang penting karena memasok 20% kebutuhan harian BBM nasional. Dengan kapasitas timbun sebesar 291.889 kiloliter, serta kapasitas penyaluran mencapai 16.504 kilo liter per hari, stasiun ini diandalkan dalam pemenuhan bahan bakar cair di area Jabodetabek. Sempat meraih penghargaan sebagai stasiun penyimpan bahan bakar terbaik ke dua tingkat Internasional versi Global Tank Storage Awards tahun 2018, serta sistem perpipaan overhead yang diklaim Pertamina menjamin keamanan dari human error dalam operasionalnya, tentu menjadikan depo Pertamina Plumpang merupakan asset penting bagi negara. 


Tahap penyelidikan terhadap penyebab kebakaran masih terus berjalan. Hasil sementara yang diinfokan pihak kepolisian adalah adanya gangguan teknis yang terjadi pada saat proses pengisian BBM jenis Pertamax, dimana adanya kendala pada alat yang mengakibatkan tekanan berlebih hingga akhirnya menimbulkan ledakan yang memicu kebakaran. Pihak Pertamina sendiri menyampaikan secara umum bahwa penyebab kebakaran yang terjadi karena adanya human error, yang memang sangat mungkin terjadi walau sistem sudah dilengkapi dengan teknologi yang canggih.

Berita yang berkembang selanjutnya kemudian menunjukkan bagaimana Pertamina dalam dua tahun terakhir mengalami sedikitnya lima kebakaran pada stasiun pengumpulnya, antara lain yang terjadi di  Cepu (April 2020), Cilacap (Juni dan November 2021), Balongan (Maret 2021), dan Balikpapan (Maret dan Mei 2022). Penyebab kebakaran diberitakan karena human error ataupun sambaran petir. Fakta ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana standar keamanan dan keselamatan kerja telah diberlakukan dalam lingkungan kerja Pertamina. Terlihat disini bahwa terjadi sistem pengawasan dan sistem keamanan yang masih kurang menjadi perhatian dari pihak Pertamina. Sebagaimana dikatakan pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhy, bahwa rentetan kejadian yang ada mengindikasikan Pertamina tidak menerapkan standar Internasional untuk pengamanan aset sepenting kilang minyak, sehingga terjadi beberapa kebakaran.”(Kompas.com). Dapat dikatakan Pertamina abai terhadap pengamanan kilang, dimana semestinya digunakan sistem yang berstandar Internasional, yang menerapkan zero accident dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui bersama, kebakaran yang terjadi pada kilang minyak sebenarnya jarang terjadi di dunia, karena biasanya diberlakukan standar yang tinggi dalam sistem keamanan dan keselamatan kegiatan industri. Selayaknya menjadi evaluasi bagi pihak Pertamina, bahwa peralatan canggih tidak menjamin kelayakan suatu sistem dijalankan, bila tidak didukung dengan tata kelola serta pembinaan sumber daya manusianya agar dapat menjalankan standar keamanan sebagaimana mestinya. 

Tata letak stasiun pengumpul yang berdekatan dengan pemukiman warga kemudian turut menjadi sorotan. Posisinya yang hanya berjarak kurang dari 1.5 km, bahkan fakta di lapangan menunjukkan jarak tangki penyimpan yang hanya terpaut puluhan meter dari dinding pembatas pemukiman warga, tentu saja sangat beresiko bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sifat bahan bakar yang mudah terbakar, ditambah iklim tropis yang mendukung kemungkinan terjadinya ledakan karena efek tekanan tinggi dari minyak dan gas, semestinya menjadi pertimbangan utama untuk menjaga jarak area stasiun pengumpul dari pemukiman warga. Sebagaimana dinyatakan oleh Fahmy Radhi, minimal ada jarak 5 kilometer yang memisahkan kedua area tersebut. Bila melihat kembali sejarah depo Pertamina Plumpang, yang mulai beroperasi tahun 1974, sebenarnya lokasinya pada saat itu sudah memenuhi standar keamanan karena jauh dari pemukiman warga. Namun arus urbanisasi yang tidak terkontrol, ditambah sistem pengawasan dan pengaturan tata kota yang lemah, maka lambat laun jarak aman tersebut dilanggar, hingga akhirnya terjadi insiden yang menelan puluhan jiwa. 

Islam mengatur tata kelola obyek vital untuk kemashlahatan umat 

Apa yang terjadi pada depo Pertamina Plumpang sejatinya merupakan buah dari ‘human error’ sistem kapitalistik, dimana negara berorientasi pada keuntungan materi dan berlepas tangan dari kepentingan masyarakatnya. Pada konteks pengelolaan stasiun pengumpul bahan bakar, terjadi setidaknya dua kesalahan yang sistemik, yaitu dari sisi pengelolaan unit peralatan penyimpan bahan bakar yang tidak memenuhi standar keamanan sehingga membahayakan lingkungan di sekitarnya, serta terjadinya pemukiman padat sebagai efek urbanisasi yang disebabkan pembangunan yang tidak merata sementara negara berlepas diri dari kebutuhan ekonomi masyarakatnya. 

Berbeda dengan Islam yang diyakini kesempurnaan ajarannya, memposisikan negara sebagai khadimatul ummat (pelayan umat), yang tidak mengambil keuntungan sedikitpun, semata menjalankan perintah Allah SWT dalam mengemban amanah. Sebagaimana disampaikan Rasulullaah saw :

“Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari Muslim)

Keberadaan khalifah sebagai pemimpin umat merupakan suatu institusi yang bersifat praktis, yang menerapkan aturan-aturan syariat dengan keselamatan rakyat sebagai pertimbangan utama. Sehingga dalam hal pengelolaan tata kota ataupun wilayah, tidak akan meninggalkan prinsip keselamatan dan kemashlahatan. Adanya batasan yang jelas antara kepemilikan negara, umum dan pribadi, termasuk dalam hal ini terkait lahan industri maupun pemukiman, akan mengurangi potensi konflik lahan antara warga dan pemerintah. Selain itu, khalifah dalam mengatur tata letak suatu wilayah akan membagi lahan sesuai dengan karakteristiknya, bila lahan tersebut subur maka akan diutamakan peruntukannya sebagai lahan pertanian/perkebunan, bila lahan tersebut kurang subur maka bisa diperuntukkan sebagai lahan industri ataupun pemukiman, yang tentu saja diatur jarak yang aman antara keduanya. Pelaksanaan aturan yang tegas dan jelas dengan sistem sanksinya akan menjaga aturan tersebut bisa ditegakkan sebagaimana mestinya, hingga mengurangi resiko terjadinya insiden seperti di depo Pertamina. 

Khatimah  

Kebakaran besar yang terjadi di depo Pertamina Plumpang menguak berbagai sisi kerusakan sistem kapitalisme, sistem yang mengutamakan keuntungan materi, bahkan di tingkat negara yang sejatinya dipercaya untuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan vital masyarakat. Islam sebagai suatu pandangan hidup yang sistemik menawarkan solusi beserta aturan yang harus dipenuhi secara utuh agar terwujud kehidupan aman, tentram dan sejahtera. Berbagai kerusakan sudah terpapar setiap harinya ketika umat semakin jauh dari Islam, mengapa tidak dicoba untuk kembali menerapkan syariat Islam dengan menyeluruh ? Wallahu a’lam bishawab.

 Penulis : Dosen PTS di Jakarta dan Mahasiswa Doktoral FTUI