Home Opini Teladan Ketabahan Ibunda Hajar: Sikap Tawakal yang Melahirkan Peradaban Mulia

Teladan Ketabahan Ibunda Hajar: Sikap Tawakal yang Melahirkan Peradaban Mulia

751
0
SHARE
Teladan Ketabahan Ibunda Hajar:  Sikap Tawakal yang Melahirkan Peradaban Mulia

Oleh: Joko Priambodo 
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas PTIQ Jakarta

KETIGANYA - Menempuh perjalanan panjang melintas jalur tenggara yang berjarak tak kurang dari 1200 kilometer menuju Gurun Paran (Desert of Paran) dalam tradisi Arab disebut Faran, wilayah yang juga merujuk pada kawasan Hijaz dari titik berangkat mereka, Kota Beersheba (sumur tujuh) sebuah Kawasan di padang gurun Negev atau bagian selatan wilayah yang kini kita kenal dengan Tepi Barat Palestina, ya Kota Hebron yang dalam bahasa Ibrani memiliki makna dipertautkan dengan kasih sayang (dalam bahasa Arab disebut Khalil) nama itu juga identik maknanya dengan empunya julukan Ibrahim AS (Abraham), selain namanya jika dipisah dalam dua suku kata menjadi Ab (Bapak) dan Rahim (penuh kasih sayang) dalam bahasa Arab juga dapat bermakna Ibrahim al-Khalil sebagai Khalilullah (Kekasih Allah) yang dalam agama-agama samawi (Abrahamik) menempati kedudukan mulia sebagai Nabi utusan Allah SWT yang juga diakui sebagai Bapak para Nabi (Abu al-Anbiya) juga gelarnya sebagai Bapak bagi bangsa-bangsa di dunia Avraham Avinu (the father of a multitude of nations) karena dari ketiga istrinya: Sarah (keturunan Sam), Hajar (keturunan Ham) dan Kentura (keturunan Yafeth) kemudian Ibrahim menjadi sosok simpul pertemuan dari ketiga keturunan Nabi Nuh yang dinikahinya tersebut, sekaligus kemudian menjadi pokok dari kompleks percabangan silsilah keturunannya yang tersebar menjadi bangsa-bangsa umat manusia hari ini.

Perjalanan Bapak Ibrahim AS, Ibunda Hajar dan putranya yang masih dalam susuan Ismail bukan tanpa alasan, diantara sebagian tokoh feminis seperti Sibel Eraslan menafsirnya sebagai ekses dari kehamilan kontraktual dengan Sarah (istri pertama Ibrahim) yang kemudian secara manusiawi kemudian timbul riak kecemburuan dalam hubungan mereka bertiga (Ibrahim, Sarah dan Hajar) pasca kelahiran putra yang sama-sama mereka nanti-nantikan yaitu Ismail. Hajar (Hagar) ialah sosok wanita asal Mesir (konon merupakan putri raja Maghreb di Afrika Utara yang masih keturunan Nabi Saleh AS kemudian akibat peperangan menjadi tawanan sejak kecil dan diasuh penguasa Mesir / Firaun yang hidup pada zaman Nabi Ibrahim AS). Api cemburu Sarah (Sarai) seakan tiada padam selagi madunya Hajar dan putranya Ismail masih tinggal di seputar Kota Hebron, maka keputusan untuk hijrah yang juga diilhami petunjuk Ilahi untuk melakukan perjalanan meninggalkan Palestina untuk hijrah sekaligus ziarah ke tempat peribadahan pertama yang didirikan manusia (Adam AS) menjadi bekal Ibrahim AS, Hajar dan Ismail menempuh jarak ribuan kilometer hingga tiba mereka pada sebuah lembah tandus di tenggara Kota Hebron, bernama Bakkah (Mekah, the valley of Baca) dimana tiada pemukiman dan sisa peradaban di sana kecuali hidup sebuah pohon balsam dengan naungan bayangannya yang cukup teduh untuk disinggahi mereka bertiga (lihat Jeradl F Dirks, 1999).

Kisah keluarga Ibrahim AS, khususnya pada babak perjuangan bersama Istrinya Hajar dan putranya Ismail kerap dipahami dalam konteks rasionalitas monokultural dalam penyampaian kepada publik sebagai ‘hanya’ narasi perjalanan hidup Ibrahim AS dan putranya Ismail AS. Padahal kisah tersebut merupakan realitas multikontekstual, sehingga terbuka interpretasi apologetik untuk mengangkat teladan sosok Ibunda Hajar yang juga sentral dalam bangunan kisah keluarga Ibrahim AS dan peradaban yang terbangun setelahnya yang berasaskan monoteisme. Sebab itu pula dalam artikel singkat ini penulis hendak mengajak sidang pembaca yang budiman untuk mengeksplorasi lebih dalam sudut cerita dari sisi Ibunda Hajar, seorang wanita tabah dan tangguh yang alur kehidupannya begitu kompleks, sebagai keturunan Nabi Saleh AS, anak bangsawan yang kemudian akibat kekalahan ayahnya dalam peperangan, mengantarkan kehidupan remajanya menjadi tawanan Firaun dan kemudian menjadi istri Nabi Ibrahim AS dan juga dari rahimnya lahir seorang Nabi, Ismail AS dan kelak pula dari keturunannya lahir junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang juga lahir dari sosok Ibunda Aminah yang mewarisi sifat tabah dan tangguh dalam mempertahankan sikap tawakal hanya kepada Allah SWT semata. 

Tauladan Akhlak dan sikap Tawakal Ibunda Hajar

Setibanya Ibrahim AS, Ibunda Hajar dan putranya Ismail di lembah Bakkah (Mekah) dengan perbekalan sekompan air dan sekeranjang kurma, mereka beristirahat dibawah pohon balsam yang perkiraan letaknya kini di sekitar bekas sumur Zamzam atau tidak jauh dari Ka’bah tepatnya sejajar arah rukun hajar aswad dan multazam. Tak terbilang lama hingga ketika istri dan anaknya dilihatnya terlelap, Ibrahim AS beranjak dalam langkahnya yang sunyi bergerak meninggalkan lembah Bakkah. Tentu kita pahami itu merupakan langkah berat bagi Nabi Ibrahim AS meninggalkan istri dan putranya tercinta, bahkan kalaulah tergambar betapa berat dan sedihnya perasaan Nabi Ibrahim AS ketika itu. Sekalipun Nabi Ibrahim AS telah melewati berbagai ujian berat sejak belia menghadapi angkara murka dan kesyirikan kaumnya di Ur berkonfrontasi dengan Naram-Sin, di Harran ketika harus meninggalkan ayahnya juga di Mesir ketika menghadapi Firaun yang sempat mengambil istrinya Sarah, di Palestina menghadapi kaum Kanaan dan terakhir ketika melerai amarah kecemburuan istrinya Sarah. Hingga terdengar suara lirih istrinya Hajar yang bertanya kemana ia hendak melangkah? Dihiraukannya pertanyaan itu namun ia harus terus melangkah, sampai ia menoleh dan meyakinkan Hajar yang bertanya pada dirinya, “apakah ini perintah Allah?” “Ya,” jawabnya. Ibunda Hajar pun kemudian yakin bahwa Allah SWT tidak akan menelantarkan dirinya dan anaknya Ismail.

Ibrahim AS terus melangkah, hingga tiba di bukti Tsaniyah, tempat dimana Hajar dan Ismail sudah tidak melihatnya, Ibrahim AS memanjatkan doa berikut dengan mengangkat kedua tangan, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 38)

Dari bagian kisah tersebut dan seterusnya, kita dapat mengambil beberapa catatan keteladanan sikap, akhlak dan keimanan Ibunda Hajar diantaranya:

  • Tabah dan ikhlas ketika menjalani hidup sebagai tawanan Firaun dan mampu menjaga kehormatan diri sebagai wanita.
  • Tabah dan ikhlas kepekaannya terhadap sesama wanita, dimana ia menjaga sikap hormat dan memuliakan Ibunda Sarah sebagai wanita yang dihormatinya sementara ia juga harus mempertahankan pernikahannya dengan suaminya Ibrahim AS.
  • Tabah dan ikhlas ketika mendapat perintah berhijrah meninggalkan Kota Hebron menuju Mekah.
  • Tabah dan ikhlas ketika setia bersama suaminya Ibrahim AS beserta putra dalam buaian Ismail menempuh perjalanan panjang dan melelahkan serta melalui rute yang berat menuju Mekah.
  • Tabah dan tawakal menerima ketentuan Allah SWT bahwa ia dan anaknya yang masih balita harus ditinggal sendirian di tengah lembah tandus Bakkah tanpa persediaan makanan dan minuman yang memadai. Hanya bergantung kepada Allah SWT semata.
  • Tabah dan tawakal dalam ikhtiar mempertahankan hidup bersama putranya yang masih kecil, hingga Allah SWT menganugerahi mata air Zamzam setelah ikhtiarnya berlari-lari antara bukit Safa dan Marwah yang terjal dengan perasaan takut, khawatir, kalut, bingung berkecamuk. Hingga pada akhirnya dari ujung tumit Ismail yang ditinggalkannya di bawah pohon balsam sedang menangis itu membuncah mata air yang hingga sekarang tidak pernah surut, kita kenal sebagai air Zamzam. Sungguh luar biasa yang mengiringi perjuangan keras seorang ibu. Terdokumentasi salah satunya dalam Shahih Al-Bukhari, hadis nomor 3112 riwayat Ibn Abbas bahwa pada bagian kisah ini, Nabi Muhammad SAW berdoa, yang artinya :

Semoga Allah merahmati Ibu Nabi Ismail (Siti Hajar), karena kalau-lah dia tidak segera membendung air Zamzam, tentulah air itu akan menjadi air yang mengalir.

  • Tabah dan tawakal serta setia menjaga kehormatan sebagai seorang ibu membesarkan Ismail, juga sebagai istri menanti kepulangan suaminya Ibrahim AS di tengah kehidupan bersama suku Jurhum yang datang kemudian ketika melihat adanya mata air Zamzam.
  • Tabah dan tawakal membesarkan Ismail dengan cinta dan kasih-sayang sehingga tumbuh menjadi pribadi kuat dengan akhlak mulia, jauh dari trauma fatherless sebagaimana dialami banyak anak-anak yang tumbuh dalam keluarga modern.
  • Tabah dan tawakal serta ikhlas membenarkan mimpi suaminya Ibrahim AS yang mendapatkan perintah untuk menyembelih putra kesayangan mereka Ismail yang beranjak dewasa (QS. As-Shaffat [37]: 102). Secara emosional tentu Ibunda Hajar tak kalah sedih dan berat perasaannya ketimbang Nabi Ibrahim AS dalam menerima ketentuan tersebut, mengingat ialah yang mengasuh dan membesarkan Ismail seorang diri.
  • Sikap Nabi Ismail AS yang tersurat dalam Al-Quran. Dimana sang anak percaya penuh terhadap mimpi ayahnya Nabi Ibrahim AS dan bahkan meyakinkan sang ayah untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Gambaran mengenai kepribadian dari Nabi Ismail AS yang memiliki keimanan yang teguh dan kuat terhadap Allah SWT tersebut tentu sedikit banyak merupakan buah dari tarbiyah robbaniyah Ibunda Hajar.
  • Tabah dan sabar membersamai putranya Ismail AS dan suaminya Ibrahim AS selama membina kembali Ka’bah dan tinggal bersama putranya di Hijir Ismail sampai selanjutnya menemani sebagian panjang misi kenabian suami dan putranya hingga akhir hayat.

Wasiat Menjaga Agama yang Hanif

Ibrahim AS mewasiatkan prinsip dasar keyakinan dalam mengarungi kehidupan kepada segenap keluarga dan anak keturunannya, ialah berpegang teguh kepada jalan yang lurus, yaitu ajaran kepasrahan terhadap Allah SWT secara menyeluruh, maksudnya adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT (islam) dengan berbekal keyakinan iman dan sikap ikhlas dalam menjalankan seperangkat aturan hidup yang Allah SWT tetapkan yaitu jalan hidup (Al-Millah atau Al-Din, agama) yang diyakini, dijalankan dan diajarkan oleh Ibrahim AS sendiri. Wasiat ini diabadikan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat ke-132: “wa washshâ bihâ ibrâhîmu banîhi wa ya‘qûb, yâ baniyya innallâhashthafâ lakumud-dîna fa lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûn.” (artinya: “Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “’Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (memeluk agama Islam).’”

Wasiat diatas juga berlaku, terlebih bagi kita umat Islam sebab seruan untuk mengikuti agamanya Ibrahim AS yang hanif dan bersih dari kesyirikan serta meneladani akhlaknya, setidaknya secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat ke-95: “qul shadaqallâh, fattabi‘û millata ibrâhîma ?anîfâ, wa mâ kâna minal-musyrikîn” (artinya: katakanlah [Nabi Muhammad], “Mahabenar Allah (dalam firman-Nya).” Maka, ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik) dan surah An-Nahl ayat ke-123: “tsumma au?ainâ ilaika anittabi‘millata ibrâhîma ?anîfâ, wa mâ kâna minal-musyrikîn.” (artinya: kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik”). Sedangkan dari Ibunda Hajar kita pun dapat mengambil tauladan bahwa keyakinan dan ketawakalan terhadap Allah SWT sebagai Rabb yang menjamin dan memelihara kehidupan tidak boleh tergoyahkan apalagi terkalahkan oleh rasa sepi, takut, amarah, perasaan diabaikan dan tersia-siakan atau bahkan naluri keibuan sekalipun. Hal dimana menjadi sebab dan masih kita ziarahi hingga kini sa’i sebagai rukun ibadah haji dan umroh. Ketawakalan Ibunda Hajar kepada Allah SWT tersebut juga telah mengiringi Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS dalam penyempurnakan perintah-perintah kenabian yang diemban. (*)

Jakarta, 10 Dzulhijjah 1445 H / 17 Juni 2024