Oleh: Deti Kutsiya Dewi, S.Tr.Ak, M.S.Ak
Aktivis Muslimah
?Sudahlah ekonomi sulit, pinjaman melilit, waktu habis untuk permainan yang tak kunjung menghasilkan duit, bukannya untung malah buntung. Ya begitulah fakta terkini mengenai kondisi banyak masyarakat di negeri ini yang keranjingan melakukan judi online (judol). Dengan himpitan ekonomi yang menyiksa, hadirnya “solusi” instan berupa permainan yang diiming-imingi menghasilkan uang dengan cepat dan mudah sangatlah menggiurkan, tidak hanya bagi orang dewasa melainkan juga bagi generasi muda. Ditambah lagi dengan minimnya modal yang dimiliki untuk bermain judol, masyarakat berbondong-bondong mengambil jalan instan dengan mengajukan pinjaman online (pinjol).
Mirisnya lagi berita terbaru datang dari pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dimana ia bolos sekolah selama satu bulan dikarenanakan kecanduan judol dan pinjol. Dilansir dari Kompas 29/10/2025 MY Esti Wijayanti selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI menilai bahwa kasus tersebut dapat terjadi disebabkan oleh pendidikan saat ini. Beliau menilai saat ini sekolah hanya sibuk menyiapkan anak untuk ujian, bukan untuk bertahan hidup di dunia digital yang penuh jebakan algoritma dan komersialisasi perilaku. Beliau juga menambahkan bahwa pentingnya pendidikan karakter dan literasi digital bagi para siswa di sekolah bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai.
Tidak dapat dipungkiri, konten judol memang telah menjamur di berbagai situs yang ada, bahkan merambah situs-situs pendidikan dan game online, sehingga para siswa rentan terpapar. Pinjol dan judol juga sering kali membentuk lingkaran setan dimana pelajar yang kehabisan uang karena kalah judi akan mencari pinjaman dan hal termudah yang bisa diakses adalah pinjol. Kasus ini menunjukkan ada celah besar dalam pengawasan orang tua dan sekolah terhadap anak, serta lemahnya peran negara dalam menutup atau memberantas situs-situs judol.
Pendidikan karakter dan literasi digital belum mampu menuntaskan masalah ini, karena penyebab utama dari lingkaran setan ini adalah cara berpikir yang rusak, ingin cepat kaya tanpa kerja keras karena kemudahan akses dan modal kecil. Hal ini lumrah terjadi dalam sistem Kapitalisme saat ini, dimana sistem ini menjadikan keuntungan materi sebagai tolok ukur utama tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Dalam sistem ini, ?negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pelindung rakyat, terbukti dengan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengatakan bahwa pada kuartal pertama tahun 2025, tercatat pemain judol berusia 10–16 tahun telah menyetorkan dana lebih dari Rp2,2 miliar. Pada kelompok usia 17–19 tahun, nilai deposit melonjak hingga Rp47,9 miliar. Angka tertinggi ditemukan pada rentang usia 31–40 tahun, dengan total deposit mencapai Rp2,5 triliun. Ironisnya, sebanyak 71,6 persen pelaku judol merupakan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp5 juta dan memiliki pinjaman selain dari bank, koperasi, maupun kartu kredit..
Lain halnya jika negara menggunakan sistem Islam (Khilafah) tolak ukur segala perbuatan adalah halal dan haram, sehingga pinjol dan judol tentunya tidak dibiarkan menjamur di masyarakat. Karena Allah SWT melaknat pelaku judi sebagaimana dalam QS Al-Maidah ayat 90 berikut:
"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung".
Dan Allah SWT jelas mengharamkan aktifitas pinjol yang mengandung riba, seperti dalam QS Al-Baqarah ayat 275 berikut:
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba".
Segala sumber yang menuju keharaman ditutup rapat dan diberikan sanksi yang tegas oleh negara sehingga memberikan efek jera, karena negara merupakan pengurus rakyat seperti hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan,
"Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya" (HR Bukhari dan Muslim).
Selain itu, pendidikan dalam sistem khilafah juga berlandaskan akidah Islam, sehingga pelajar punya arah dalam bertindak dalam kehidupan tidak cukup hanya dengan pendidikan karakter. Peran negara sangat dibutuhkan untuk membentuk sistem yang mampu membentuk generasi yang saleh, berkepribadian Islam sehingga dapat menghentikan lingkaran setan yang merugikan masyarakat seperti judol dan pinjol. (*)







LEAVE A REPLY