Oleh: Devi
Aktivis Muslimah
Kasus mempermainkan agama yang berujung pada penistaan agama kembali hangat diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini. Pasalnya kasus ini dicuitkan pelaku di akun media sosial miliknya. Sontak ribuan pasang mata memberikan tangapan mulai dari yang pro hingga sebaliknya. Bahkan ada juga yang abai lalu mendiamkan seolah tidak terjadi apa-apa. Narasi recehan yang keluar dari ide tak mendasar itu tertulis. “Kasian sekali Allahmu ternyata lemah dan harus dibela, kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku takperlu dibela.”
Bak tubuh yang terbius, pelaku tak merasakan yang terjadi pasca cuitannya itu hingga akhirnya mengundang kemarahan umat yang berujung pada pelaporan kepada pihak yang berwajib dengan dalih penistaan agama. Dan seperti yang telah terjadi sebelumnya, model kasus seperti ini telah berseliweran di mana-mana dan proses hukum pun berakhir hanya dengan kata ‘maaf’ yang terlontar dari mulut pelaku. Meskipun pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka, masih saja ada yang membela.
Kali ini pembelaan langsung datang dari Menag, sebagaimana yang dikutip dari WE Online, Jakarta, Menag Gus Yaqut mendadak bela Ferdinand Hutahaean. Warga diminta tabayyun dan jangan melontarkan cacian. Pembelaan ini dilakukan agar tidak menimbulkan kegaduhan yang lebih besar lagi, ibarat nasi telah menjadi bubur sulit rasanya untuk mengembalikan kepada keadaan semula karena sudah terjadi.
Selain dari Menag, pembelaan juga datang dari politikus PDI Perjuangan Kapitra Ampera meminta pihak yang melaporkan Ferdinand Hutahaean ke Bareskrim Polri segera mencabut laporannya dan memaafkan kesalahan atas perbuatan pelaku yang dilakukan dengan tak sengaja. Maaf saja tak cukup, apalagi ia adalah seorang banyak dikenal. Berdalih pelaku seorang mualaf tak begitu saja dapat diterima, buktinya masih saja abai.
Kasus seperti ini bisa jadi akan muncul lagi ke permukaan, terlepas apakah pelaku sadar atau pun tidak sadar ketika melakukan. Problem seperti ini sebenarnya disebabkan oleh sistem kehidupan hari ini. Perlu diketahui, dalam sistem politik sekuler-demokrasi, kebebasan adalah hal yang mudah diakses siapa pun bahkan dibukakan pintu sebesar-besarnya kepada manusia dalam melaksanakan perbuatannya tanpa ada campur tangan agama yang mengaturnya.
Kebebasan dalam sistem sekuler kapitalis mengajarkan 4 kebebasan yang sangat deskruktif yaitu kebebasan memilih agama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berprilaku. Tak heran jika sistem ini melahirkan para penghina Tuhannya, agamanya serta menghujat ajarannya yang sudah jelas kebenarannya. Hawa nafsu telah menghipnotis akal sehat sehingga tidak berfungsi dan tidak bisa membedakan baik dan buruknya. Begitu juga seperangkat hukum di dalamnya mendadak bungkam sehingga tidak ada efek jera pelaku atas tindakannya.
Kasus semodel ini hanya akan bisa dituntaskan jika Islam dipraktikkan dalam semua lini kehidupan. Sistem Islam akan menggantikan sistem sekuler-demokrasi dalam penyelesaikan problem kehidupan manusia, karena Islam dengan tegas melarang siapa pun untuk menghina agama. Islam yang dipraktikkan secara politik dalam naungan khilafah sebagai institusi pelayan dan pelindung bagi rakyatnya. Khilafah akan memberikan edukasi kepada rakyatnya agar terbentuk keimanan yang sempurna, negara tidak menoleransi pemikiran, pendapat, paham dan sistem hukum yang bertentangan dengan syariat Islam.
Adapun kasus penistaan agama, para ulama mazhab sepakat, jika pelakunya Muslim maka hukum yang dijatuhkan atasnya hukuman mati. Ulama berbeda pendapat jika pelakunya orang kafir dzimmi (kafir yang hidup di bawah naungan Islam), menurut jumhur tetap diberlakukan hukuman mati, sedangkan Abu Hanifah tidak dijatuhi hukum dibunuh. Dengan sanksi tersebut tentunya akan menenteramkan karena dapat menebus dosa dan memberikan efek jera pelaku untuk mengulang perbuatannya, sehingga kasus penistaan tak akan terulang kembali.(*)
LEAVE A REPLY