Keterangan Gambar : Deti Kutsiya Dewi (sumber foto : ist/pp)
Oleh : Deti Kutsiya Dewi
(Aktivis Muslimah)
Hingga saat ini ketersediaan minyak goreng masih mengundang polemik dan menyusahkan masyarakat. Awalnya harga minyak goreng yang tinggi diklaim karena harga crude palm oil (CPO) naik, namun ketika harga CPO turun, harga minyak goreng masih tetap tinggi dan langka. Di sisi lain, posisi petani sawit sangat memilukan, faktanya harga tandan buah sawit (TBS) segar sangat fluktuatif bahkan terjun menyentuh angka terendah. Kebijakan larangan ekspor yang dilakukan oleh pemerintah sangat merugikan petani dan mirisnya lagi minyak goreng pun tetap langka dan harganya tetap tinggi di pasaran.
Untuk menekan harga minyak goreng yang terus melambung tinggi dan langka, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan meluncurkan minyak goreng curah merek MinyaKita untuk diperdagangkan di pasar tradisional. Nantinya para konsumen yang akan membeli harus menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) dan pembeliannya dibatasi maksimal 5 kilogram (kg) dengan catatan untuk konsumsi pribadi bukan untuk diperjualbelikan kembali. Mendag juga menegaskan bahwa para pedagang tidak boleh menaikkan harga jual di atas harga eceran tetap (HET) yaitu Rp14.000,00 per kg dan melarang konsumen membeli melebihi batas ketentuan, jika pedagang melanggar akan ditindak oleh satuan tugas (satgas) pangan. Diketahui MinyaKita dipersiapkan oleh produsen sebanyak 450 ribu ton per bulan yang akan disebarkan di pasar tradisional saja dan tidak disebarkan di ritel ataupun secara online di marketplace. Namun ternyata upaya tersebut belum berhasil dalam menekan harga minyak goreng. Kelangkaan minyak kembali terjadi, justru pada produk yang diadakan untuk menekan harga minyak.
Realitas ini sangatlah tidak wajar, Indonesia yang dikenal sebagai produsen CPO terbesar di dunia malah mengalami kelangkaan minyak goreng. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada praktik kartel antara pengusaha dan produsen minyak kelapa sawit. Faktanya praktik kartel hanya akan menguntungkan segelintir pihak yang memiliki modal besar untuk memonopoli barang dan menyengsarakan masyarakat. Padahal keberadaan para kartel sepertinya sudah diketahui, karena pada tahun 2022 Walikota Jakarta Selatan Munjirin mengimbau warga Jakarta Selatan untuk tidak khawatir terhadap kelangkaan minyak goreng akibat aksi penimbunan karena pemerintah memiliki satgas pangan untuk mengawasi di lapangan. Namun ternyata kelangkaan tetap terjadi dan sanksi hukum tidak tegas menindak para pelaku kartel.
Inilah dampak ketika urusan masyarakat diatur oleh sistem kapitalisme, sistem yang hanya berorientasi pada materi. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Nidhzamul Islam bab Qiyadah Fikriyah menjelaskan bahwa sistem kapitalisme menjadikan para pemilik modal sebagai penguasa sesungguhnya dibalik sebuah negara. Hal ini dapat diindera oleh masyarakat secara umum bahwa negara tidak memiliki kekuatan ketika berhadapan dengan para pemilik modal.
Oleh karena itu, negara yang sudah memahami bahwa kelangkaan minyak goreng terjadi karena adanya praktik kartel tidak bisa menindak tegas hal tersebut. Solusi yang diambil oleh negara pun merupakan solusi yang pragmatis dan masih tetap menyengsarakan rakyat seperti pembatasan pembelian minyak goreng, konsumen yang membeli minyak goreng harus menggunakan KTP dengan alasan agar tidak ada pemborongan sehingga kebutuhan minyak goreng masyarakat dapat terpenuhi. Selain itu, pemerintah menegaskan bahwa akan memberikan sanksi bagi pihak yang melanggar. Sungguh tampak jelas kenestapaan masyarakat yang hidup dalam sistem kapitalisme.
Negara yang seharusnya mengurus rakyat justru hanya menjadi regulator kebijakan yang tunduk dengan perintah para pemilik modal. Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, negara akan melaksanakan tugasnya sebagai pelayan umat (khadimatul ummah) karena para penguasa dalam sistem Islam paham betul mengenai perintah Rasulullah SAW yang disampaikan dalam hadits riwayat al-Bukhari yang berbunyi “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat (raa’in) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. Sehingga urusan minyak goreng pun akan menjadi perhatian khalifah jika ketersediaannya tidak mencukupi dan akan mencari akar permasalahannya.
Kelangkaan minyak goreng dapat terjadi karena pasokan dan permintaan atau akibat dari penimbunan. Jika permasalahannya pada pasokan dan permintaan, negara tidak akan mengintervensi harga seperti halnya kebijakan penguasa kapitalisme saat ini. Karena sejatinya pematokan harga oleh negara dilarang dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda “siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
Harga jual barang diserahkan berdasarkan mekanisme harga pasar, konsep ini akan membuat seluruh lapisan masyarakat menjangkau harganya. Adapun negara diperbolehkan mengintervensi barang yang didatangkan dari luar wilayah untuk menjaga ketersediaannya kembali normal. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab selaku khalifah pada masa kepemimpinannya, yakni beliau memerintahkan para gubernur yang berada disekeliling Hijaz agar mengirimkan barang yang dibutuhkan ke wilayah yang terserang wabah.
Oleh karena itu, dengan konsep ini dapat menjamin ketersediaan minyak goreng di kalangan masyarakat. Selain itu, negara juga dapat mengambil sejumlah hutan milik umum untuk ditanami sawit kemudian mengolahnya dan hasilnya diberikan kepada rakyat. Negara juga dapat menanggungkan biaya operasionalnya saja kepada rakyat, sehingga harga jual menjadi murah. Jika kelangkaan disebabkan karena penimbunan, Negara juga akan menerapkan sanksi ta’zir kepada pelaku, karena perbuatan mereka sudah membuat masyarakat sengsara. Sanksi Islam yang diterapkan akan memberi efek sebagai penghapus dosa (jawabir) dan efek pencegah kejahatan (zawajir). Itulah solusi yang dapat diberikan khilafah untuk mengatasi polemik minyak goreng agar tidak berkelanjutan dan menyusahkan rakyat.(*)
Wallahu a’lam bissawab.
LEAVE A REPLY