Home Opini Mengatasi Juvenile Delinquency di Indonesia

Mengatasi Juvenile Delinquency di Indonesia

Oleh: Bella Lutfiyya

1,053
0
SHARE
Mengatasi Juvenile Delinquency di Indonesia

Keterangan Gambar : Bella Lutfiyya,

Kasus kenakalan remaja atau Juvenile Delinquency di Indonesia belakangan ini ramai menyita perhatian publik. Seperti kasus penganiayaan yang terjadi di perumahan daerah Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Senin, 20 Februari 2023 sekitar pukul 20.30 WIB yang melibatkan seorang anak pejabat pajak bernama Mario Dandy Satriyo (20) kepada David (17) yang merupakan seorang anak dari petinggi GP Ansor Jonathan Latumahina sehingga menyebabkan korban mengalami cedera otak.

Kasus lain yang juga melibatkan anak muda terjadi di Bone, Sulawesi Selatan. Siswi SMP (J) berusia 14 tahun meninggal dunia usai menjadi korban pemerkosaan beberapa temannya. Sebelumnya, ia mengaku kepada kedua orangtuanya bahwa sempat diperkosa beramai-ramai oleh 4 rekan sekolahnya. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, nyawa J tidak terselamatkan. Hasil visum menunjukkan bahwa terdapat luka robek di selaput darah akibat benda tumpul.

Data World Health Organization (WHO) tahun 2020 menyatakan bahwa terjadi sekitar 200 ribu pembunuhan di kalangan anak muda dalam rentang usia 12-29 tahun dimana sebanyak 84% kasus-kasus tersebut melibatkan laki-laki.

Semakin banyak tindak kekerasan yang dilakukan oleh pemuda menggambarkan terdapat kesalahan dalam sistem kehidupan saat ini. Mulai dari gagalnya sistem pendidikan membentuk anak didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, lemahnya peran keluarga dalam meletakkan dasar perilaku terpuji, serta rusaknya masyarakat. Semua itu adalah buah dari kehidupan yang berdasar pada sistem sekulerisme yang menjadikan akal manusia sebagai penentu segala sesuatu.

Akal manusia dijadikan sebagai penentu benar dan salah serta baik dan buruknya sesuatu. Padahal, kita semua tahu bahwa akal manusia sangatlah terbatas, sehingga sangat tidak tepat apabila dijadikan landasan benar-salahnya atau baik-buruknya suatu hal.

Selain itu, sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan juga menjalar ke berbagai sendi kehidupan, misalnya dalam lingkup pendidikan. Negara yang memegang kendali paling tinggi dalam mengatur segala aspek di dalamnya justru menjadi pion yang menjauhkan agama dari kurikulum pendidikan. Tidak hanya di lingkungan sekolah-sekolah negeri, namun telah menjalar ke madrasah bahkan pondok pesantren.

Karakter anak terbentuk berdasarkan didikan di rumah, di sekolah, dan juga lingkungan sekitarnya. Apabila seorang anak menghabiskan waktunya lebih banyak di sekolah misalnya, sementara lingkungan sekolahnya tidak mampu memberikan pengajaran dan didikan yang baik, apa yang dapat terjadi dengan pembentukkan karakter anak tersebut?

Lalu apa pentingnya agama dalam pembentukkan karakter seorang anak?

Agama Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas seluruh aspek kehidupan. Islam mengatur segala hal sehingga dapat dijadikan pedoman atau rujukan atas segala perbuatan, situasi, dan kondisi umat. Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan sesama.

Islam juga mengatur berbagai hal terkait ekonomi, pemerintahan, kesehatan, pengadilan, adab, akhlak, dan lain sebagainya. Begitu lengkap dan terperinci sehingga apabila akidah Islam diterapkan, peluang terjadinya kenakalan remaja seperti 2 kasus di atas tentu akan sangat minim.

Mirisnya, para pemuda yang sadar akan kesalahan pada sistem saat ini dan memutuskan untuk belajar lebih mendalam mengenai Islam justru kerap kali dicap radikal. Ya, ?Radikal?. Hal yang tidak asing bukan?

Pemuda-pemudi yang gigih belajar Islam justru dikucilkan dan dianggap aneh, kuno, dan ?berbahaya?. Tidak hanya di lingkungan sosial, bahkan di lingkungan keluarga pun masih ada orang tua ataupun kerabat yang mempunyai stereotype demikian. Apa akibatnya?

Pemuda-pemudi seringkali merasa takut, terasingkan, malu. Padahal ia tahu bahwa hal yang dilakukannya adalah benar, namun lingkungan sekitar sangat tidak mendukung.

?Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang?.

Alih-alih menemukan jati dirinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi sebagaimana terdapat dalam Surah Al-An?am ayat 165 di atas, para pemuda justru kehilangan identitas diri dan terjerumus pada kemungkaran, misalnya kekerasan tadi.

Oleh karenanya, sekularisme harus dicabut dari kehidupan dan pemikiran. Umat Islam harus disadarkan bahwa sebaik-baik aturan adalah aturan Allah SWT semata, bukan hasil dari pemikiran manusia yang tumpul, terbatas, dan subjektif. Menjadikan akidah Islam sebagai pedoman adalah kewajiban umat Islam sekaligus solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi di muka bumi.

Para orang tua, guru, dan tenaga pendidik hendaknya memberikan bekal ilmu dan akhlak yang cukup bagi anak-anak, remaja, dan pemuda. Para remaja dan pemuda selaku generasi penerus bangsa juga patut memiliki kemauan yang teguh untuk dididik dan dibina untuk mewujudkan terbentuknya remaja dan pemuda sejati.()

 

Bella Lutfiyya: Mahasiswi Universitas Gunadarma