Home Opini Memilah Hal yang Lebih Penting

Memilah Hal yang Lebih Penting

1,577
0
SHARE
Memilah Hal yang Lebih Penting

Oleh: H. J. Faisal *)


Preambule

Di saat masih banyak hal yang lebih penting untuk dibahas oleh kita sebagai warga masyarakat dan anak-anak bangsa Indonesia, mengapa kita selalu saja terjebak kepada sebuah ‘keributan’ dan perdebatan yang sebenarnya sifatnya tidak substansial? 

Misalnya, seperti perdebatan mengenai video aksi tutup telinga yang dilakukan oleh beberapa santri yang sedang melakukan vaksinasi, karena mereka tidak mau mendengarkan alunan musik yang diperdengarkan oleh panitia vaksinasi beberapa waktu yang lalu. 

Apa salahnya dengan menutup telinga? Justru kita harus menghormati aksi keteguhan hati para santri cilik tersebut di dalam menjaga marwah ketaatan mereka kepada perintah agama dan guru-guru mereka di pondok pesantren atau sekolah-sekolah agama mereka. Dengan teguh hati juga mereka bertekad untuk menjaga nilai-nilai Illahiyah mereka di dalam hati mereka, sehingga mereka merasa bahwa musik adalah salahsatu alat yang dapat merusak nilai-nilai Illahiyah tersebut. 

Yang terpenting adalah bagaimana proses vaksinasi tersebut berjalan dengan lancar, tidak ada insiden apapun. Sehingga tidak perlu menghubung-hubungkannya dengan perkataan atau nyinyiran bahwa mereka adalah penganut Islam radikal, atau ada  pola pengasuhan dan pendidikan keIslaman yang salah terhadap mereka. 

Menghindari diri dari segala macam hal-hal yang dapat mengurangi kekhusyukan juga dilakukan oleh para penganut agama lain yang ingin mencapai ketinggian derajat keimanan mereka. Menyepi, bersemedi, bertapa, dan hal-hal lainnya secara spesifik juga dilakukan pemeluk agama selain Islam untuk menikmati kedekatan hati mereka dengan alam dan penciptanya. Apakah yang mereka lakukan tersebut dapat dianggap radikal, atau salah pola pendidikan keagamaannya? 

Jika  kita tidak mengerti tentang bagaimana pola pendidikan dan pengasuhan keIslaman di pesantren atau sekolah-sekolah Islam, lebih baik diam sajalah. Baca saja dulu lebih banyak refrensi pengetahuan atau informasi tentang pendidikan Islam, atau sering-seringlah main dan bersillaturrahim ke pondok pesantren dan sekolah-sekolah Islam, agar wawasan kita mengenai Islam menjadi lebih terbuka dan tidak selalu picik, sehingga tidak mudah terpancing terhadap pendapat-pendapat dan stigma yang selalu menyudutkan Islam. 

Perdebatan seru yang kedua adalah tentang munculnya kembali  pendapat yang menyatakan bahwa semua agama sama di mata Tuhan. Ini adalah sebuah perdebatan yang usang, sebenarnya. Mungkin pendapat seperti ini keluar di depan publik, karena adanya keinginan untuk mengembangkan sebuah nilai toleransi di antara sesama anak bangsa yang majemuk ini, untuk dibingkai di dalam sebuah persatuan. Jika niatnya seperti itu, pastinya sangatlah mulia dan wajib kita dukung.

Tetapi mungkin juga, pendapat seperti ini telah memperlihatkan bahwa ada  kesalahpahaman di dalam ‘membaca’ keadaan tentang asal usul keberadaan agama dan juga tentang peradaban manusia,  sehingga terdapat kurangnya pemahaman, bahwa agama tidak dapat disamakan dengan mudah seperti itu, karena awal sejarah kemunculan masing-masing agama itu saja sudah berbeda, kitab suci masing-masing agama juga berbeda, pola ibadah dan ketauhidannya juga berbeda, bahkan Tuhan masing-masing agama juga pastinya  berbeda. Karena perbedaan sosok Tuhan yang berbeda, sejarah kemunculan agama juga berbeda, kitab suci yang berbeda itulah, maka  harus diperjelas agama dan Tuhan yang mana yang dimaksud sama?

Mungkin kalau kalimat pernyataannya adalah bahwa sebagai sesama manusia kita mempunyai Tuhan yang sama, yaitu Allah Subhannahu wata’alla, mungkin masih bisa diterima secara nalar dan logika. 

Penghianat Bangsa

Pastinya, bangsa ini masih memiliki segudang ‘pekerjaan rumah’ yang harus dibenahi secara bersama. Seluruh elemen anak bangsa yang mempunyai kepakaran di bidang masing-masing, kini saatnyalah menunjukkan jati diri kalian yang memang cinta terhadap bangsa ini, untuk memperbaiki keadaan bangsa ini.

Sudah bukan saatnya lagi kita terus meributkan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dan keagamaan. Selama agama dan kepercayaan yang dianut oleh anak bangsa adalah agama yang dijamin oleh Undang-Undang negara ini, dan sifatnya tidak sesat dan menyesatkan, maka kita semua wajib menjaga ukhuwah dan sillaturrahim sebagai sesama anak bangsa.

Cukuplah petunjuk ‘Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku’ menjadi landasan toleransi yang sebenarnya di dalam ranah keyakinan transenden. Di dalam ranah pergaulan atau muamallah, mari kita semua bersatu padu, sekali lagi… sebagai sesama anak bangsa. 

Saatnya sekarang kita menyadari bahwa selama ini sebenarnya kita telah diadudomba oleh sesama anak bangsa sendiri (devide et impera), yang notabene mereka ingin mengambil keuntungan duniawi sesaat dari keruhnya suasana perekonomian, politik, hukum, dan sosial yang sedang berlangsung saat ini, di negeri tercinta ini. Persis seperti cara yang dilakukan oleh penjajah Belanda, bukan? 

Hanya saja penjajahnya saat ini adalah para anak bangsa sendiri, yang layak disebut sebagai penghianat bangsa. Sepertinya para penghianat ini adalah orang-orang Indonesia yang tidak pernah mengenal sejarah bangsanya sendiri, yaitu  bangsa yang telah didirkan dengan ketulusan, pemikiran yang cerdas, kemampuan dalam melihat arah yang benar, banyak tumpahan darah serta airmata sebagai bentuk pengorbanan dari para pahlawan dan para Founding Fathers bangsa dan negara.  

Para pengadudomba tersebut sebenarnya tidak menyadari, bahwa merekalah yang sebenarnya sedang menjadi dombanya. Sadar atau tidak sadar para ‘peternak’ mereka yang justru sedang merendahkan derajat kemanusiaan mereka, dengan mengambil keuntungan yang lebih besar lagi.  

Bersatu Untuk Perbaikan

Sekaranglah saatnya anak bangsa Indonesia bersatu, untuk berusaha memulihkan keadaan ekonomi kerakyatan yang mandek karena terjebak oleh situasi pandemik buatan ini. Saatnya semua anak bangsa memikirkan bagaimana skema perekonomian kerakyatan yang mumpuni dengan bantuan penerapan teknologi yang ada, di dalam melawan gempuran para korporat ologarki besar yang berlindung di balik punggung pemerintahan.

Sekaranglah juga saatnya para anak bangsa bersatu dan memikirkan bagaimana caranya melindungi lingkungan dan alam negara ini dari krisis lingkungan hidup dan krisis energi, dan juga dari krisis perubahan iklim ekstrem. 

Pada tahun 2018, pengamat energi Marwan Batubara pernah mengatakan bahwa   Indonesia dikhawatirkan mengalami krisis energi dalam 30 tahun ke depan. Hal ini jika cadangan energi fosil habis dan tidak ada energi alternatif yang dikembangkan sebagai penggantinya.

Dan untuk mencari sumber energi baru yang terbarukan bukanlah hal yang mudah. Diperlukan berbagai usaha keras dari seluruh lapisan elemen masyarakat agar proses pembentukan energi baru terbarukan dari proses hulu sampai proses hilir dapat berjalan dengan baik.

Begitupun di dalam masalah perubahan iklim ekstrim yang terjadi dalam 50 tahun terakhir ini, di antara 1970 dan 2020, ada lebih dari 11.000 bencana terkait cuaca, menurut pemetaan  terbaru dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) yang mendata skala seluruh peristiwa alam yang ekstrem ini.
Menurut laporan mereka, lebih dari dua juta orang meninggal dunia karena bencana alam akibat perubahan iklim, dengan keruguan ekonomi mencapai US$ 3,64 trillion (Rp51 kuadriliun).

Sekaranglah saatnya juga para anak bangsa bersatu untuk bersama mengontrol jalannya sistem hukum dan keadilan di negeri ini. Terus bersuara menentang ketidakadilan merupakan salahsatu cara agar agar sistem keadilan yang benar-benar adil bisa tetap berjalan. 

Di dalam politik pun demikian. Silahkan kita bawa identitas politik kita masing-masing, karena proses politik memang tidak akan pernah lepas dari yang namanya identitas yang melatarbelakanginya. 

Tetapi mari kita gunakan  identitas yang berbeda-beda tersebut sebagai warna saja, dengan tetap mempunyai tujuan yang sama, yaitu sama-sama bersatu untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang makmur, berkeadilan, berdaulat dan beradab. 

Jika Indonesia menjadi sebuah negara yang maju, berdaulat, adil dan makmur, maka bukan satu pihak saja yang akan menikmatinya, melainkan semua rakyat Indonesia juga pastinya yang akan merasakan manfaatnya.

Begitupun sebaliknya, jika Indonesia menjadi negara yang miskin, rusak, dan compang-camping, maka semua pihak (baca: rakyat) juga akan merasakan imbasnya. 

Kita sudah tidak bisa lagi mengandalkan kemampuan pemerintah untuk memperbaiki bangsa ini, dikarenakan kemampuan mereka dalam mengatur negara yang sudah tidak mumpuni. Syahwat-syahwat kekuasaan, syahwat politik, dan kesenangan duniawai sesaat lebih mereka utamakan, dan syahwat-syahwat tersebut pastinya harus segera mereka lampiaskan, bagaimanapun caranya,  agar kepala mereka tidak menjadi pusing karenanya. 

Telah terlihat dengan jelas, bahwa syahwat-syahwat kekuasaan, syahwat politik, dan kesenangan duniawai sesaat tersebut telah meracuni bangsa kita saat ini, sekali lagi, bangsa yang telah didirkan dengan ketulusan, pemikiran yang cerdas, kemampuan dalam melihat arah yang benar, darah, dan air mata.  

Untuk itulah, sayangilah negara ini demi keberlangsungan kehidupan anak cucu kita di masa depan. Bersatulah wahai para anak bangsa, tanpa memandang agama, suku, budaya, dan tanpa kejumudan berpikir. 

Mari kita buka ruang diskusi yang lebih bermanfaat dan lebih berdampak nyata aplikasinya bagi masyarakat, dan tidak perlu menghiraukan para pengadudomba. Mengapa? Karena pengadudomba sebenarnya  tidak pernah mempunyai kemampuan untuk berpikir seperti manusia normal lainnya, sebab di dalam pikiran mereka adalah bagaimana  mencari domba untuk diadu, bukan mencari manusia untuk diajak berdiskusi, apalagi bertukar pikiran.  

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta,   17 September 2021

*) Penulis adalah Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Doktoral Pascasarjana UIKA, Bogor/ Anggota Majelis Pendidikan Pusat Al Washliyah.