Home Agama Hisab dan Rukyah, Ceruk Menjaga Ukhuwah

Hisab dan Rukyah, Ceruk Menjaga Ukhuwah

Oleh Dr.Lalu Zulkifli

346
0
SHARE
Hisab dan Rukyah, Ceruk Menjaga Ukhuwah

Keterangan Gambar : Dr.Lalu Zulkifli, Ketua BAKOMUBIN DKI Jakarta (foto aboe)

A. Sejarah Awal

Ulama pertama yang tercatat dalam sejarah yang membolehkan penggunaan metode Hisab adalah Mutarrif Ibn Abdullah Ibn Syikhkhir (w. 714 M), seorang ulama Tabiin Besar.
Kemudian Imam asy-Syafi'i (w. 820 M), dan juga  Ibn Suraij (w.918 M).

Ibn Rusyd (w.1199 M), kemudian menegaskan:
"Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf bahwa apabila bulan tertutup awan, maka dipegangi hisab dengan memperhitungkan perjalanan Bulan dan Matahari."
(ini pendapat mazhab Ibn asy-Syikhkhir).

Ibn Suraij meriwayatkan dari Imam Syafi'i ra, (pendapatnya yang monumental) bahwa bliau mengatakan "barang siapa mazhabnya adalah memegang hisab perbintangan dan posisi-posisi Bulan, kemudian melalui pembuktian dengan hisab itu ternyata Bulan seharusnya dapat dilihat seandainya tidak ada awan, maka dia boleh berpuasa dan puasanya sah." (Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, I: 207).

Kemudian Syihabuddin al Marjani (mazhab Hanafi / w.1808 M) menyatakan: "masalah hisab seluruhnya qat'i dan bersifat burhani (demonstratif), tidak ada jalan untuk mengingkarinya (Al-Gumari, Taujih al-Anzar..., 2006).

Imam Az-Zarqani ra, mengutip pernyataan Imam an-Nawawi ra, menyatakan bahwa tidak dipeganginya metode hisab karena hisab tersebut bersifat spekulatif.( Syarah al-Muwatta' Imam Maliki, II, 254).

Ibn Taimiyyah juga berpendapat bahwa hisab hanyalah ta'dil / qonun at-ta'dil (hukum koreksi) yang para ahli hisab sendiri sepakat  bahwa koreksi tersebut tidak pasti. ( Al-Fatawa, XXV: 183).

B. Titik Perbedaan Pendapat

1). Dr.Yusuf Qardhawi menegaskan berlakunya Qiyas Aulawi (argumentum a fortiori): metodi hisab lebih baik daya gunanya dari ru'yat dalam penetapan awal bulan kamariyah, maka sunah menggunakannya.
2). Ahli Hadis terkemuka al-'Allamah asy-Syaikh Ahmad Syakir : illat (causa hukum) yang dinyatakan Nabi Sw sudah tidak ada,  yakni 
"innaa ummatun ummiyyatun laa naktubu walaa nahsubu...(sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab...). (Hadits Bukhari No.1913 dan Muslim No.1080).

3). Imam Taqiyuddin as-Subki ra (w. 1355 M), ulama besar Syafi'i, menyatakan bahwa hisab itu qat'i (kuat), dan kesaksian serta khabar dalam ru'yat fisik itu zanni (lemah).(Fatawa as-Subki,I: 2019).

Perbedaan para ulama terletak pada:
1.Menafsirkan hadits Nabi Saw: "...kami adalah ummi, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis..."
2.Menafsirkan hadits Nabi Saw: "...jika bulan terhalang oleh awan maka estimasikanlah."
3.illat (sebab hukum).
4.Menafsirkan hadits Nabi Saw:  " Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal..".
5.Menafsirkan QS. AR-Rahman:5, QS.Yunus:5 dan QS.Yasin: 39-40.

Demikian perbedaan yang diyakini masing-masing oleh para ulama hingga kini.
Karena itu janganlah lagi perbedaan metode hilal-ru'yat itu dibebankan pada pundak NU-Muhammadiyah, karena perbedaan pendapat itu telah berlaku pada masa para ulama sejak tahun 800 M.

C. Penerapan di Indonesia

Banyak yang mengusulkan agar di Indonesia coba di kompromikan perbedaan-perbedaan itu agar puasa Ramadhan dan idul fitrinya bersamaan (maksud masyarakat NU-Muhammadiyah bersatu gitu).

Abu al-Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij, seorang imam besar dalam mazhab Syafi'i, bahkan bliau adalah imam seluruh ulama Syafi'iyyah dizamannya, pernah mengkompromikan antara "apabila hilal tertutup awan maka faqduruulah (maka estimasikanlah)" / hisab, yang bliau peruntukkan bagi orang yang dianugerahi ilmu ini, dengan " fa akmilul 'iddah (genapkanlah bilangan bulan berjalan)" ditujukan bagi orang banyak. (syarah al-Qadi Abu Bakar Ibn 'Arabi terhadap sunan at-Turmuzi, III, 207-208).

Maksudnya adalah bahwa metode hisab dijalankan apabila terhalang awan, bila tidak sepakat dengan metode hisab maka cukupkan puasa 30 hari.

Jadi bila mengacu pada pendapat imam Ibn Suraij tersebut, di Indonesia bisa saja kita kompromikan.

Karenanya, apabila pemerintah RI tidak mengkompromikannya, namun menjalankan metode ru'yat, maka akan muncul pertanyaan, salahkah yang meyakini bahwa metode Hisab terus dijalankan ?

Atau pertanyaan sederhananya, apakah ada dalil syar'i yang  membolehkan organisasi keagamaan di Indonesia berbeda dalam penentuan 1 syawal/ramadhan dengan 'ulil amri / pemerintah ?

Pertanyaan ini pasti memunculkan perdebatan baru.

Namun peraturan perundang-undangan telah memberikan dan melindungi hak dalam menjalankan pemikiran dan keyakinan keagamaan bagi organisasi keagamaan (salah satunya Muhammadiyah), melalui
Undang-Undang RI No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 20 menyatakan Ormas Berhak:
huruf (c): "memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi"
huruf (d): "melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi"dan
huruf (e): "mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi".
Selama tidak melanggar pasal 59.

wallahua'lam

Jakarta, 28-02-2025
Selamat Berpuasa 2025 M / 1446 H.

 

* Penulis : Ketua BAKOMUBIN DKI Jakarta