Home Hukrim FSP TIM Gugat Pemrov DKI

FSP TIM Gugat Pemrov DKI

Kembalikan Marwah TIM Sebagai Pusat Kebudayaan

1,147
0
SHARE
FSP TIM Gugat Pemrov DKI

FSP TIM Gugat Pemrov DKI

Kembalikan Marwah TIM Sebagai Pusat Kebudayaan

Jakarta, parahyangan-post.com- Forum Seniman Peduli TIM (FSP-TIM) menggugat Pemerintahan Provinvi DKI atas penujukkan  PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) mengelola Pusat Kesenian Jakarta- Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) selama 28 tahun.

Gugatan dilayangkan ke Mahkamah Agung, Senin 22 Agustus 2022. Koordinator Penggugat, Moktavianus Masheka  menjelaskan, gugatan dimaksudkan untuk mengembalikan marwah TIM sebagai pusat kesenian yang telah melegenda sejak didirikan oleh Gubernur DKI  Ali Sadikin 54 tahun lalu.

“Menyerahkan pengelolaan PKJ-TIM kepada PT Jakpro selama 28 tahun merupakan keputusan yang menyakiti hati seniman,” tutur Oktav, panggilan akrab seniman yang barusan sukses menkoordinir pagelaran peringatan 100 tahun Penyair Khairil Anwar ini,  kepada parahyangan-post.com.

Kalau itu (pengelolaan PKJ-TIM-red) benar-benar diserahkan kepada PT Jakpro, maka ruang kreatifitas seniman akan hilang. Karena seluruh bangunan akan dikomesilkan. Termasuk ruang terbuka di depan bangunan yang akan dijadikan tempat penayangan iklan (videotron).

Menurut Oktav, dengan kekuasaan mutlak itu, tak pelak di mata para seniman, Jakpro bertindak sebagai predator, gergasi, yang leluasa menggerogoti ruang yang selama ini menjadi wilayah interaksi pemikiran dan gelanggang ekspresi para seniman itu. Tidak hanya seniman Jakarta, dari juga dari segenap penjuru Indonesia

Mengawal gugatan, FSP menyerahkan kepada Pengacara Effendi Saman, SH. Gugatan dimaksud berupa pengajuan hak uji materiel terhadap Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 juncto Nomor 16 Tahun 2022 yang memberikan kewenangan penuh kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM).

Oktav berharap Mahkamah Agung mengabulkan gugatan seniman tersebut karena di mana-mana di dunia ini, seniman selalu mendapat bantuan (subsidi) dari pemerintah. Sementara di Indonesia malah ruang kreatifitsnya dirampas.

“Ini jelas tidak adil dan menyakitkan,” tutup Oktav.*** (aboe/pp)