Oleh : Banu Muhammad,
Dosen FEB UI
PEKAN - Lalu, ramai di media tentang pendapat seorang Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang mengatakan bahwa beliau ‘merasa’ 20 tahun terakhir Depok tidak ada kemajuan sama sekali. Sayangnya, beliau berpendapat tanpa mengutip data sama sekali.
Bicara perasaan tentu sesuatu yang subjektif. Tadi pagi, saya baru pulang dari alun-alun Kota Depok bersama putri saya yang berusia 5 tahun yang sangat suka dengan fasilitas taman alun-alun yang luas ini. Fasilitas yang mungkin tidak pernah dikunjungi Pak Prof tersebut. Bicara perasaan, saya yang dulu saat mahasiswa merasakan menyebrang Margonda sudah seperti mempertaruhkan nyawa, kini bisa merasakan mudahnya menyebrangi Jalan Margonda dengan adanya beberapa titik jembatan penyebrangan.
Sebagai salahsatu warga Depok yang sejak awal kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) tahun 1998 hingga 2023 dan juga sebagai ekonom, saya ingin melihat konteks ini secara lebih objektif.
Satu hal yang pasti, data yang saya dapatkan dari beberapa sumber resmi bisa memastikan Depok tumbuh pesat dalam 20 tahun terakhir. Data tahun 2006 menunjukkan kalau keseluruhan aktifitas ekonomi Depok yang tercermin pada PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) hanya di angka 5,06 Trilyun, namun di akhir 2022 sudah di angka 81,17 trilyun atau tumbuh sekitar 16 kali lipat.
Seiring dengan majunya perekonomian, kualitas kehidupan masyarakat juga membaik. Kualitas kehidupan masyarakat biasanya dilihat dari kondisi Ekonomi, Kesehatan dan Pendidikan yang terangkum dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Nilai IPM Kota Depok yang pada tahun 2006 ada di kisaran 77,9; pada akhir tahun 2022 sudah di angka 81,8. Angka ini sekelas dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Dengan semakian majunya perekonomian, kemiskinan juga turun secara signifikan. Jika pada tahun 2006 ada 90,7 ribu penduduk miskin; maka pada akhir tahun 2022 sudah turun di angka 64,3 ribu penduduk. Itu angka nominal, jika diprosentasekan tentu lebih rendah lagi karena penduduk Kota Depok tahun 2006 baru sekitar 1,3 juta jiwa, sementara di akhir tahun 2022 sudah hampir 2,2 juta jiwa. Menurunnya jumlah penduduk miskin juga berdampak pada semakin sedikitnya kawasan kumuh. Kawasan kumuh yang pada tahun 2011 seluas 650 ha, kini hanya tersisa 28,1 ha.
Perekonomian yang sangat baik juga dirasakan dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah yang pada tahun 2006 hanya di kisaran 68,6 Milyar, menjadi 1,6 trilyun pada tahun 2022. Tentu ini kinerja pemerintahan yang sangat baik. Nilai PAD ini membuat APBD Depok relatif mandiri dan sehat.
Berdasarkan data dari BAPPEDA Depok, juga didapati bahwa titik banjir yang pada tahun 2009 ada sekitar 36 titik, pada akhir tahun 2022 sudah berkurang menjadi 10 titik saja. Layanan air perpipaan yang pada tahun 2007 baru di angka 2.396 sambungan rumah, kini sudah naik lebih dari 40 kali lipat diangka hampir 100.000 sambungan. Lepas dari isu margonda sentris, nyatanya perbaikan jalur pedestrian di jalan Margonda terasa sangat membantu pejalan kaki.
Belum lagi betonisasi gang-gang dan jalan kecil yang nyaris merata dari ujung sawangan hingga ujung cilodong; pembangunan taman yang sudah ada di hampir seluruh kelurahan, terbangunnya 2 RSUD, terbangunnya alun-alun dan hal yang lain.
Namun demikian, sama-sama kita tahu, di beberapa titik, kemacetan semakin menjadi-jadi. Data yang saya dapatkan menunjukkan titik kemacetan yang meningkat dari 2009 hingga 2022. Semakin banyaknya volume kendaraan tidak berbanding dengan kecepatan pemerintah merespon dengan penyediaan layanan transportasi umum dan pelebaran ruas jalan. Walau sebagai catatan, banyak titik kemacetan adalah di jalan propinsi dan nasional yang tidak sepenuhnya ranah pemerintah daerah Kota Depok. Dalam konteks kemacetan, Depok membentuk Dewan Transportasi Kota yang beberapa anggotanya adalah dosen dan akademisi Universitas Indonesia.
Tentu catatan dan data makro diatas bisa menjadi informasi sederhana untuk menjawab siapapun yang mengatakan bawah Depok 20 tahun terakhir tidak ada perkembangan atau pertumbuhan.
Bahwa Depok nampak gagap tumbuh bisa jadi dirasakan oleh warga Depok sendiri yang tiba-tiba merasakan lonjakan kepadatan penduduk, keramaian jalan dan bertumbuhnya pusat perbelanjaan. Gagap tumbuh yang bisa jadi dikarenakan kurangnya perencanaan pada masa lalu, khususnya tahun 1970-an saat pemerintah pusat pembangun Perumnas Depok. Para perencana pembangunan pada masa itu mungkin terkaget-kaget juga dengan perkembangan Depok hari ini.
Salahsatu senior saya sering mengatakan apa bedanya Depok dengan Canberra (Australia)? Canberra adalah planning without city, karena jalan-jalannya lebar, fasilitas kota luarbiasa, tapi penduduknya sangatlah terbatas. Sebaliknya Depok, bisa dikatakan sebagai city without planning, karena memang tidak didesain sebagai kota sejak awalnya. Dulunya daerah pinggiran yang pelan-pelan tumbuh menjadi tempat tujuan migrasi. Tentunya bukan tanpa perencanaan secara harfiah, karena pada tahun 2006, untuk pertama kalinya Depok memiliki dokumen perencanaan jangka Panjang, RPJPD 2006-2025. Kini dokumen itu bersiap untuk dievaluasi, dan secara parallel pemerintah sedang menyiapkan RPJPD 2025-2045. Semoga kegagapan tersebut perlahan sirna, makin jelas arah pembangunannya, dan berproses lebih lancar menjadi kota hunian yang nyaman, dimana keluarga-keluarga muda nyaman membesarkan putra-putrinya, dimana para pensiunan bahagia menikmati masa tuanya.(*)
Headline
PARAHYANGAN POST TV
BERITA PILIHAN
BERITA POPULER
Peringati Bulan PRB, YKRI Adakan Lomba Kreativitas Melalui Tulisan, Gambar/Foto dan Video
JAKARTA (Parahyanganpost.com) -- Dalam rangka memperingati bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2020, ditengah pandemic...
kostenlose counter
LEAVE A REPLY