
Keterangan Gambar : Drai kiri ke kanan L Isson Khairul, Yon Bayu Wahyono dan Rahab Gandera (sumber foto : Isson K/pp)
Oleh : Isson Khairul
Persatuan Penulis Indonesia
Ini pengantar peluncuran novel “Prasa” karya Yon Bayu Wahyono, pada Minggu, 29 Oktober 2023 mendatang. Launching akan dilakukan di aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, lantai 4 Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Di sana, Yon Bayu akan me-launching 2 novel karyanya sekaligus: "Prasa" dan "Kelir."
--
Kejahatan tidak sepenuhnya bermula dari niat jahat. Pelaku yang nampak berbuat jahat, boleh jadi adalah akibat. Bukan sebab. Apalagi bila yang dimaksud adalah kejahatan kemanusiaan. Ada berlapis-lapis agenda di balik tindak kejahatan kemanusiaan, yang bahkan hingga berpuluh tahun, tidak tersentuh. Belum terlacak.
Saya percaya, ada aktor intelektual di balik tiap tindak kejahatan kemanusiaan. Karena itulah, saya tidak percaya, sosok Progo Subagyo dalam novel “Prasa” ini adalah pelaku kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya. Meski, ia yang memimpin operasi pembumihangusan suatu wilayah, yang menyebabkan sejumlah perkampungan punah dan sekian banyak penduduk meregang nyawa.
Artinya, Progo Subagyo hanya pion. Hanya pelaksana lapangan. Meski, ia berpangkat Jenderal serta memimpin pasukan. Operasi pembumihangusan tersebut adalah operasi rahasia, operasi tanpa nama. Karena itu, sangat mungkin, Progo Subagyo sendiri tidak tahu, siapa aktor intelektual di balik tindak kejahatan kemanusiaan yang ia laksanakan tersebut.
Jika saja Progo Subagyo benar-benar orang jahat, sungguh-sungguh berniat jahat, tentu ia tak kan menyelamatkan bayi berumur 5 bulan yang tergeletak di salah satu sudut perkampungan yang ia bumihanguskan tersebut. Ia bukan hanya menyelamatkan, tapi membawa bayi tersebut ke rumahnya.
Maka, jadilah sang bayi sebagai anak ketiga, dari dua anak kandungnya yang sudah ada. Yang tertua Pram, laki-laki. Yang kedua Siwi, perempuan. Dan, yang ketiga ya perempuan, sang bayi tersebut. Seluruh dokumen sang bayi diurus, dibereskan dengan rapi ke dalam dokumen keluarga Progo Subagyo. Bayi perempuan itu dinamai Prasa.
Ahli forensik Dr. Anton Castilani menyebut, “no perfect crime.” Tidak ada kejahatan yang sempurna. Belasan tahun kemudian, ketika Prasa beranjak remaja, ia menyadari, ada yang berbeda antara ia dengan dua kakaknya. Makin dicermati, makin ditemukan sejumlah perbedaan yang signifikan. Bukan hanya sekadar warna kulit. Bukan pula sekadar bulatan wajah.
Puncaknya, Prasa menemukan sebuah foto, ketika Nyonya Progo Subagyo mengangkat piala dalam sebuah pertandingan tenis. Dan, tanggal yang tercantum di foto tersebut, hanya selisih seminggu dari hari kelahiran Prasa, sebagaimana tercantum di akte kelahirannya. Seketika, Prasa merasa bumi berputar demikian kencang. Ia terhenyak.
Artinya, Nyonya Progo Subagyo bukanlah ibu kandungnya. Bagaimana dengan Progo Subagyo, apakah ia juga bukan ayah kandungnya? Suatu hari, karena sudah tidak tahan memendam pertanyaan tersebut, Prasa bertanya langsung kepada Progo Subagyo, yang selama ini ia anggap ayah kandung dan ia diperlakukan sebagai anak kandung.
Sang ayah mencabut pistol dari pinggangnya, kemudian menyodorkan kepada Prasa, sembari bergumam, “Tembaklah Ayah, jika itu bisa melegakan hatimu, jika itu menjawab keingintahuanmu.” Untuk kesekian kalinya, Prasa merasa bumi berputar demikian kencang. Ia terhenyak. Ia serasa berada di ruang yang gelap. Sangat gelap.
--
Prasa tidak membenci Progo Subagyo, sosok yang sangat menyayanginya. Ia juga tidak membenci Nyonya Progo Subagyo, yang selama ini mengasihinya layaknya anak kandung. Demikian pula dengan Pram dan Siwi. Ia hanya ingin tahu, siapa ayah dan ibu kandungnya serta kenapa ia sampai diasuh oleh keluarga Progo Subagyo.
Sama sekali tidak ada terlintas kejahatan kemanusiaan di balik semua itu, dalam pikiran dan perasaan Prasa. Ia hanya ingin doanya punya alamat. Ia hanya ingin mendoakan ayah dan ibu kandungnya, jika mereka telah wafat. Ia ingin menyebut nama ayah dan ibu kandungnya, dalam doa-doanya. Semua itulah yang memacu jantungnya untuk terus dan terus mencari tahu.
Progo Subagyo berjanji, akan menjelaskan seluruh misteri tersebut, setelah Prasa selesai kuliah dan bekerja. Maksudnya, setelah Prasa mandiri, tentu ia secara psikis siap mengetahui realitas latar belakang kehidupannya yang sesungguhnya.
Tapi, Progo Subagyo mengingkari janjinya. Prasa kalap. Ia melarikan diri dari rumah, selama bertahun-tahun. Dan, ia baru kembali ke rumah di hari jasad Progo Subagyo dimasukkan ke liang lahat. Ibu dan kedua kakaknya sama-sama tidak mengetahui misteri tersebut. “Tugas ayahmu adalah tugas negara. Rahasia ayahmu tentulah rahasia negara,” gumam Nyonya Progo Subagyo, ketika Prasa terus mendesak.
--
Pada satu titik, Prasa merasa bahwa upaya untuk menemukan asal-usulnya, sudah sampai pada kata akhir. Kematian Progo Subagyo, sudah menutup segala kemungkinan untuk menyusuri jejak masa lampaunya. Tapi, sekali lagi, no perfect crime. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Pertemuan dengan penulis biografi Progo Subagyo, menjelma menjadi babak baru pencarian asal-usulnya.
Akhirnya, Prasa sampai pada satu kenyataan: ayah dan ibu kandungnya tewas bersama puluhan warga kampungnya. Dan, tragedi berdarah tersebut adalah bagian dari perbuatan Progo Subagyo bersama pasukannya.
Dari penelusurannya, Prasa paham bahwa Progo Subagyo hanyalah perpanjangan tangan dari mereka yang mengagendakan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut. Prasa kembali berhadapan dengan jalan buntu dan gelap, untuk menyusuri berlapis-lapis misteri di balik tragedi berdarah yang dimaksud.
Pertanyaan tentang asal-usulnya sudah terjawab. Namun, jawaban itu bukanlah akhir dari segalanya. Jawaban itu justru melahirkan demikian banyak pertanyaan lain, yang tentu saja membutuhkan banyak jawaban. Prasa tak punya pilihan lain. Ia yakin tak cukup memiliki energi untuk memburu jawaban, dari segala pertanyaan yang timbul.
Keterbatasan diri sebagai manusia, itulah yang membuat Prasa menghentikan hasratnya untuk memburu jawaban yang timbul kemudian. Aktor intelektual kejahatan kemanusiaan, terlalu canggih untuk diterobos serta dikuakkan. Berliku jalan putus, yang membuat para pencari jejak tersesat kian-kemari.
--
Sampai di sini kita paham, kenapa kejahatan kemanusiaan, bahkan hingga berpuluh tahun, tidak terungkap. Aktor intelektualnya tidak tersentuh. Belum terlacak. Yang beredar ke publik, hanya rentetan dugaan demi dugaan. Berjuta pertanyaan tenggelam dalam gelap. Sangat gelap.(*)
LEAVE A REPLY